Minggu, 23 Mei 2021

Sang Orator

 

                                                            SANG ORATOR

                                             Oleh : Alexandra Indriyanti Dewi, S.H. M.Hum.

BAB I

TIKUS TUA DI PENGHUJUNG SENJA

 

Mata tua itu belum kehilangan kilatannya, meski redup namun apinya masih terasa. Dalam sel mewahnya dia terdiam, menatap nanar setiap sudut ruang berporselen yang memantulkan kilau cahaya. Meskipun bukan penjara biasa karena dilengkapi berbagai fasilitas mewah, jiwanya yang bebas toh tetap merasa terbungkam dibalik jeruji yang bahkan dipoles dengan emas sekalipun. Hatinya terasa kosong. Televisi flat besar didinding tak mengeluarkan gambar atau suara karena ia enggan mendengar beribu cela yang mungkin saja masih ditujukan padanya. Air mata jernih tak terasa jatuh menghangat dipipinya, sejernih nuraninya yang tengah bergolak dan berperang. Sesekali ia mendengar cicit di bawah kasurnya dan membuatnya penasaran, makhluk apakah yang terjebak dalam takdir yang sama dengannya. Ia melongok pelan untuk melihat kolong ranjangnya dan benar seekor tikus tua sedang berbagi nasib dengannya. Seketika ia mencoba meraih sapu untuk memukulnya supaya ia punya alasan memanggil sipir untuk mengambil bangkai tikus dari penjara mewahnya tapi setitik rasa iba yang tersisa dalam benaknya mencegahnya, toh makhluk itu sedang sama tak berdayanya dengan dirinya.

Ia menghela nafas dalam. Sama seperti tikus itu yang mungkin memiliki mimpi namun bukan berakhir seperti ini. Mata tuanya terasa lelah dan kerut dibawahnya seakan menebal, pesonanya memang belum hilang sepenuhnya apalagi saat lidahnya mengeluarkan ribuan kalimat yang mampu membius siapapun yang mendengarnya. Ia masih seorang orator yang disegani, dihormati dan ditakuti. Bahkan penguasa negeripun bisa digoyang jatuh liwat lidah tajamnya. Namun sekarang, mulutnya terdiam dan hanya tembok-tembok bisu yang akan mendengar suaranya yang tak lagi selantang dulu. Usianya yg ada dipenghujung senja tak lagi mampu memetik pita suaranya sehalus dawai kecapi seperti waktu itu. Vibrasi aneh terasa menusuk telinga dan suara parau mulai terdengar akrab. Ia menaruh kepalanya yang lelah di bantal empuk kiriman anak gadisnya, angannya mulai terbang melintasi jeruji penjara menghantarnya pada masa-masa ambisinya bergulung seperti ombak membelah pasir.

😀😀😀😀😀😀😀......................😁😁😁😁

Hanafi begitulah teman-temannya menyebutnya. Ia adalah putra pengrajin batik di daerah Wukirsari. Ayahnya cukup punya nama ketika batik masih menjadi bagian dari pakaian masyarakat kebanyakan. Namun ketika serbuan tekstil-tekstil asing menggantikan batik, ayahnya jatuh bangkrut dan terpaksa harus menjual rumah mereka. Hanafi masih kecil saat itu dan harus berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Tidak tahan menghadapi kesulitan hidup, ayahnya terkena stroke dan meninggal. Sejak saat itulah ibu Hanafi harus menghidupi Hanafi dan kelima saudaranya. Beruntung Hanafi dan dua saudara laki-lakinya cukup cerdas sehingga tak perlu membayar uang sekolah. Sementara kakak perempuannya Raudah terpaksa menikah muda untuk mengurangi beban orang tuanya dan bekerja sebagai buruh pabrik tekstil.

Suami Raudah adalah mandor pebrik gula yang keras dan kasar. Hanafi tak menyukai kakak iparnya karena selalu memukuli kakak perempuannya itu jika apa yang menjadi kemauannya tidak diikuti. Namun Raudah sangat menyayangi Hanafi, ia seringkali mencuri-curi waktu istirahatnya di pabrik untuk bisa menemui Hanafi yang sering bersembunyi di belakang gudang untuk sekedar memberikan kue, makan siangnya atau uang jajan. Raudah melakukan itu karena takut pada suaminya apabila terlihat secara terang-terangan membantu keluarganya. Seperti siang itu ketika Hanafi diam-diam muncul di pekarangan belakang untuk menemui Raudah dan memberitahu bahwa Hamzah kakak laki-lakinya terserang malaria. Belum sempat ia bicara dengan Raudah, Karsono sudah mencekal kerah belakang lehernya dan menariknya tanpa ampun.

 "Heeh setan kecil  mau apa kau ke rumahku  dengan  sembunyi-sembunyi seperti maling? Mau minta uang lagi.....? Kau pikir kami ini dinas sosial?"katanya kasar. 

Hanafi kecil badannya seperti terangkat karena tarikan keras kakak iparnya. Ia menggeleng keras sambil berteriak histeris. Mendengar jeritan Hanafi, Raudah tergopoh-gopoh keluar dan meninggalkan jahitan yang sedang dikerjakannya di rumah sebagai tambahan penghasilan. Melihat suaminya hampir membanting adik kecil kesayangannya itu Raudah langsung berlutut memegangi kaki suaminya seakan meminta ampun untuk adiknya. Karsono melepaskan cengkramannya pada Hanafi dan Hanafi jatuh tertelungkup. Wajahnya terlihat biru karena cekikan di kerah leher itu hampir memutuskan jalan nafasnya. Air mata dan ingusnya tumpah seperti air bah, namun kilatan di matanya seperti pedang yang siap memotong tubuh Karsono menjadi dua. Karsono menjadi semakin jengkel dan hendak menamparnya, tapi Raudah menghalanginya dan wajah Raudahlah yang terkena pukulan.

Karsono naik pitam dan hendak memukul lagi namun diurungkannya saat melihat tetangga-tetangganya mulai berdatangan. Karsono langsung cabut dengan mengendarai sepeda motor tuanya. Hanafi memeluk kakaknya. Darah segar keluar dari sudut bibir kakaknya dan disekanya dengan sisa potongan kain.

 "Kenapa kau kemari? Mbak kan sudah bilang, nanti mbak yang ke sana menemuimu. Apakah uang jajanmu habis,Nif?" Tanya kakanya sambil memeluk adiknya.

"Mas Hamzah sakit, mbak. Sementara ibu harus mengurus Anun. Ibu punya uang tapi tidak bisa mengantar mas Hamzah ke rumah sakit." Jawab Hanafi terisak. Tangisnya pecah. 

Raudah mengangguk. Ia segera bergegas untuk membereskan semua kekacauan yang ditimbulkan oleh suaminya dan menjelaskan pada tetangganya bahwa segalanya baik-baik saja. Hanafi mengelap sisa air matanya dengan lengan bajunya lalu mengekor di belakang punggung kakaknya.

Untuk menghibur hati adiknya, Raudah menggandeng tangan mungil Hanafi dan membawanya mampir ke warung sebelah rumahnya dan membelikan kue semprit, ketan srundeng serta lanting kesukaan Hanafi. Setelah membeli beberapa kebutuhan yang lain, Raudah kemudian datang ke rumah ibunya yang hanya berada di kampung sebelah. Dengan dibantu Hanafi, Raudah membawa Hamzah naik becak ke rumah sakit. Badan Hamzah yang panas tinggi karena malaria, lemas dan menggigil. Untung saja nyawanya masih bisa diselamatkan.Kejadian itu membuat Hanafi belajar bahwa ia tidak boleh menggantungkan nasibnya pada orang lain.

Hamzah adalah anak laki-laki kedua dalam keluarga itu. Usianya 15 tahun. Badannya tidak sekuat Hanafi yang meskipun masih berusia delapan tahun sudah mampu mengangkat dua karung beras sekaligus. Badan Hanafi tidak besar malah terbilang mungil untuk anak seusianya, tetapi tenaganya sangat kuat. Saudara-saudaranya sering bertanya darimana datangnya kekuatan itu. Namun yang lebih mengherankan adalah suaranya. Hanafi memiliki suara yang mendayu, antara serak basah berbalut lembut dengan desah yang tidak dimiliki orang lain. Suara itulah yang selalu menjadi senjatanya ketika merengek pada ibu atau saudaranya yang lain. Seperti terhipnotis, siapapun yang mendengar rengekan bervibrasi itu akan selalu mengikuti apa yang diinginkan.

Hanafi sadar benar akan kelebihannya itu dan seringkali ia memanfaatkannya untuk keuntungannya. Hamzah sering kesal dibuatnya karena Hamzah merasa adiknya itu suka menjual belas kasihan atau dengan kata lain memanfaatkan rasa iba orang lain. Hanafi juga paling pintar untuk mempolitisir situasi untuk keuntungannya sehingga ia seolah selalu menjadi korban yang harus dibela. Untuk hal yang satu ini bukan hanya Hamzah yang sering kesal namun Karsono kakak iparnya bahkan sampai ingin menghajarnya, hanya jika  hal itu terjadi maka akan semakin memperkeruh situasinya. Hanafi justru akan semakin mendapat simpati orang.

Hanafi memiliki wajah polos yang tak berdosa. Gurat pipinya halus, bibirnya tipis mungil dan hidung yang mancung. Matanya sedikit sayu meskipun kilatan di dalamnya bisa sangat menusuk. Wajahnya tidak tampan namun menarik dan berkharisma sehingga ia memiliki banyak teman. Teman bagi Hanafi adalah sekelompok pengacau kecil di kampungnya, yang siap melakukan apa saja untuk Hanafi. Dari mencuri mangga Wan Rojak hingga mengempeskan ban sepeda Koh Liem untuk menggodanya. Namun semua tak bisa marah padanya hanya bisa kesal dan mendongkol saja. Kepemimpinan Hanafi begitu kuat dengan kelompoknya itu hingga nanti mereka tumbuh dewasa.

Kelebihan Hanafi yang lain adalah ia suka sekali membaca, meskipun ibunya terlalu miskin untuk bisa membelikannya buku, Hanafi tak pernah kurang akalnya untuk bisa mendapatkan kesukaannya itu. Setiap kali pulang dari surau selepas Ashar, ia selalu menyempatkan diri mampir ke kios buku dan majalah bekas milik Anwar. Dengan dalih membantu Anwar merapikan dagangannya dan membantu Anwar berdagang, Hanafi seringkali memiliki kesempatan membaca dalam waktunya yang sedikit.

Suatu kali ketika sedang membereskan buku, Hanafi tertarik pada buku bekas yang kebetulan terjatuh dari tumpukan. Judulnya adalah kumpulan pidato Soekarno. Hanafi mengamati buku dengan seksama dan bagaikan menemukan takdirnya Hanafipun membaca buku itu. Anwar tersenyum melihatnya.

"Nif, itu adalah kumpulan pidato Soekarno, presiden kita. Dia orang hebat, seorang orator ulung. Pemimpin besar revolusi." Kata Anwar.

"Iya. Aku tau kok mas. Aku pernah melihatnya waktu pidato di alun-alun waktu itu. Almarhum bapakku yang mengajakku melihatnya" Jawab Hanafi dengan bahasa polos anak-anak tanpa melepaskan pandangannya dari buku itu.

"Kau suka?" Tanya Anwar. 

"Suka banget, mas. Suaranya itu lho seperti membuat jantung ini ikut brenti untuk mendengar. Tukang becak yang bahkan membawaku sama bapak ikut brenti untuk mendengar pidatonya. Waktu suaranya meninggi dan keras semua diam, tidak ada suara. Tapi ketika ia mulai menurunkan suaranya, semua orang tepuk tangan." Kata Hanafi dengan mata berbinar.

 Anwar tersenyum melihat hasrat dalam diri Hanafi. 

"Kamu ingin...?" Tanya Anwar lagi. Dan langsung dijawab cepat oleh Hanafi

" Ingin mas. Aku ingin seperti dia. Bicara dan didengar banyak orang. Aku ingin mas jadi presiden." Anwar tersenyum lagi melihat hasrat anak kecil ingusan dihadapannya.

" Bukan itu maksudku, Nif. Kamu ingin buku itu?" Tanya Anwar lembut. 

Seperti menerima sebuah anugerah. Hanafi mengangguk dengan mata berbinar-binar. 

" Ini ambil. Gratis untukmu. Aku ikut berdoa semoga kau bisa meraih mimpimu. Kalau jadi presiden, jangan lupa buatkan aku toko buku di depan pasar. Supaya bukuku semakin laris." Goda Anwar. 

Hanafi mengangguk dan memeluk girang buku itu.

😊😊😊😊😊😊😊😊.............😊😊😊😊😊

Mata tua itu mengerjap pelan, rasa kantuk tak juga datang. Namun senyum perih tersungging ketika tahun-tahun awal itu melintas dalam angannya. Bayang-bayang ketidakbahagian mengapung seperti awan-awan kecil membentuk satu keresahan tersendiri. Sejauh ini tak ada yang disesalinya karena Hanafi merasa hanya melakukan yang terbaik untuk memaknai hidupnya dengan warna-warnanya sendiri. Warna yang mengejutkan, warna berbeda yang tidak akan dipilih orang.  Walau demikian semua berjalan seperti yang diharapkan Hanafi. Ia masih percaya bahwa peruntungannya akan membawanya keluar. Ia hanyalah tikus tua yang terperangkap. Tikus  tua yang cukup cerdik  bisa mencari lubang untuk lolos.

Tuhan takan meninggalkannya begitulah keyakinannya, seperti masa yang lalu, ia selalu berhasil keluar dari masalah. Toh perjuangannya selalu diusahakannya untuk keyakinannya, untuk apa yang diimaninya.Walau orang mengecam, Hanafi tidak peduli. Ia berketetapan bahwa Tuhanpun akan membelanya. Bukankah sekarang dia menjadi seorang hamba yang teraniaya. Tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa Tuhan akan menghakiminya. Senyum kecilnya tersungging dan matanya mulai terpejam. Dengkurnya terdengar pelan sarat dengan keyakinan dan harapan.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PERMAINAN KEADILAN

 

Suara mesin pendingin udara ruangan lirih terdengar dalam keheningan. Wajah Arum menegang, pipinya terasa menebal karena hawa dingin. Berbeda dengan isi hatinya yang menyimpan bara.

 "Apa mas Dhani yakin partai tidak bisa bantu? Mas Dhani tahu kan kalau perjuangan Bapak membesarkan partai ini tidak kecil?" Arum memecah keheningan dengan suaranya yang lembut tapi menusuk. 

" Mbak Arum, kami pasti support. Tapi kami tidak bisa menggerakan massa seperti yang mbak dan Pak Hanafi inginkan karena ini menyangkut seluruh kebijakan dan pimpinan partai lainnya. Mbak harus tahu, bahwa tidak semua pemimpin partai sepakat dengan tindakan pak Hanafi. Para pendiri saja sudah meminta agar pak Hanafi dikeluarkan dari anggota penasehat partai." Jawab Dhani sedikit gugup. 

Bagaimanapun yang berdiri di hadapannya adalah putri politisi senior di partainya itu. Ia tidak bisa bertindak seenaknya karena hampir seluruh keluarga Hanafi menduduki tempat-tempat strategis kekuasaan di partai maupun di lembaga pemerintahan.

Kedua putra Hanafi adalah anggota legislatif baik di pusat maupun di daerah. Sedangkan menantunya adalah walikota di kota yang cukup memberikan konstribusi besar baik materi maupun pendukung atau konstituen partai. Keluarga itu memang dikenal memiliki cengkraman luar biasa dalam organisasi partai. Meskipun banyak anggota dewan pimpinannya sendiri tak selalu sepakat dengan sepak terjang Hanafi, tetapi keluarga itu selalu memenangkan apa yang diinginkannya. Tatapan dingin, ancaman penarikan support materi sampai dengan konspirasi massa selalu jadi senjata untuk menyerang musuh-musuh politik mereka. Tak terkecuali pada dewan pimpinan partai sendiri yang tak sepaham dengan Hanafi sekeluarga. Sebagai pimpinan dewan muda partai, Dhani sering merasa terjepit dan galau. Bagaimana tidak, Hanafi adalah gurunya baik dalam kancah politik maupun ketika ia masih kuliah dulu. Dilema antara rasa hormat dengan tekanan dari dewan pimpinan partai, bahkan juga nuraninya.

Dhani begitu mengagumi Hanafi karena kuliah-kuliahnya yang kontroversial. Keberaniannya dalam mengkritik kebijakan pemerintah serta ambisi-ambisi besarnya untuk kesejahteraan negara dan bangsa seturut ideologi dan keyakinannya. Itulah yang mendorongnya berperan aktif mendukung sepak terjangnya baik di kampus maupun di kancah sosial politik nasional. Untuk dukungan itu pula Hanafi memberikan kedudukan yang cukup keren sebagai dewan pimpinan muda. Tugasnya adalah menggalang kekuatan massa dari kaum muda dan mengembangkan dukungan di dunia maya. Dhani juga bergerak sebagai penggalang massa untuk Hanafi. Namun akhir-akhir ini Dewan pimpinan partai merasa tindakan Hanafi sudah melampaui batas yang bisa ditolerir. Dhani ditekan untuk tidak menggerakan massa kecuali atas persetujuan seluruh dewan pimpinan partai. Hal itulah yang membuat putri Hanafi meradang. Dhani berusaha untuk meredakan amarahnya namun Dhani juga sadar bahwa keluarga itu adalah keluarga yang luar biasa sulit disenangkan, terutama putri-putri Hanafi.

Sifat keras kepala Hanafi menurun pada mereka, begitupun sifat angkuhnya. Orang memaklumi jika Hanafi angkuh karena rekam jejak dan prestasinya memang bisa diperhitungkan. From zero to hero begitu yang dikatakan orang.Namun putri-putrinya hanyalah orang dengan kepandaian yang umum dimiliki orang biasa hanya kebetulan dilahirkan di tengah keluarga yang punya nama. Hanya mereka menilai terlalu tinggi diri mereka sehingga harga dirinya seolah tak tersentuh. Putri pertama Hanafi bernama Aminah lulus dari fakultas ekonomi dan karena koneksi ayahnya bisa menyelesaikan gelar master di bidang yang sama di Australia. Ia menikah politik dengan salah seorang putra pimpinan partai politik koalisi ayahnya dan mendapat dukungan untuk menjadi walikota hingga saat ini. Arum sendiri lulus dari fakultas peternakan dan saat ini menjadi dewan pimpinan cabang partai di daerah sedangkan Aisyah lebih suka menerjuni dunia bisnis komunikasi dan garmen yang mensupport kampanye-kampanye ayahnya melalui produk-produknya. Ia menguasai enam radio lokal dan memiliki distro di hampir semua propinsi. Ketika ayahnya menjabat sebagai walikota maupun anggota dewan perwakilan rakyat, proyek-proyek banyak mengalir di unit usahanya. Wajah Aisyah sering keluar dalam profil majalah bisnis sebagai pebisnis muda yang sukses.

Semua itu dibuat Hanafi sebagai kampanye untuk putrinya dalam menancapkan nama, agar kelak jika persiapannya cukup akan segera meloncat ke ranah politik sebagai wakil kaum muda sukses mandiri. Hanafi membentuk karakter image putri-putrinya sebagai perempuan-perempuan politisi yang hebat, namun dengan visi yang terarah untuk mengkultuskan dan mencengkramkan kekuasaannya lebih dalam ke akses kekuasaan. Tujuannya cuma satu, melindungi dan mengembangkan aset keluarga agar tetap di bawah kekuasaan keluarga itu. Namun dari ketiga putri-putrinya Arumlah yang paling keras dan galak terhadap apapun yang menyerang keluarganya. Ia juga yang paling dekat dengan Hanafi. Ia yang merancang segala sesuatu yang dibutuhkan ayahnya saat tampil. Arum tidak cerdas namun memiliki kelicikan alami sehingga nalurinya itu seringkali menjadi aset strategi keluarga dalam menghindar, menyerang atau bertahan dari musuh. Arum tidak cantik, hidungnya sedikit terlalu besar, dan bentuk bibirnya sedikit aneh. Tetapi ia pintar memilih busana yang meningkatkan prestisenya sehingga seolah lebih cantik dari perempuan manapun dan pintar bicara persis seperti ayahnya. Ia juga seorang pembohong yang natural sehingga pendengarnya tidak merasa kalau sedang dibohongi atau dibodohi. Cerdik dalam menyerang lawan dengan memanfaatkan kewanitaannya sebagai senjata. Artinya Arum sadar benar  sepedas apapun mulutnya, tak seorangpun akan berani memukulnya. Apalagi jika yang dihadapinya adalah seorang pria. Pria itu akan memilih menjauh dan pergi jika menghadapi kata-kata Arum yang menyerang tepat dititik harga dirinya tanpa bisa dibantah ataupun ditanggapi keras hanya karena dia seorang wanita. Hal itu juga mungkin yang menyebabkan pria enggan meminangnya.

Arum menatap tajam wajah Dhani. Lalu membuat pilihan kata yang akan membuat harga diri Dhani terkoyak

 " Mas Dhani. Mas tahu kan kalau mas bisa duduk di tempat mas sekarang ini karena bapak?" Tanyanya dalam. 

Dhani pucat mendengar kata-kata Arum dan seingatnya wajah Arum yang memang tidak cantik itu, tidak tampak semenakutkan saat ini. Apalagi ketika Arum memfokuskan pandangannya ke wajahnya. Keringat dingin Dhani bercucuran. Ia berharap gajinya satu tahun dapat dipakainya menyewa dokter bedah plastik dari Korea supaya bisa melihat wajah yang sedikit lebih simetris dari wanita yang sedang naik pitam di hadapannya.

"Saya akan mengusahakan pengacara terbaik untuk Bapak, mbak." Katanya terbata-bata. 

"Braaak." Suara meja dipukul keras oleh Arum.

 "Itu tidak cukup mas Dhani. Kalau cuman sekedar pengacara, keluarga kami juga bisa membayar ribuan pengacara berkelas. Yang dibutuhkan bapak adalah pendukung. Massa itu penting untuk mempengaruhi hakim. Apa mas Dhani tidak bisa paham juga untuk hal yang sesederhana itu. Atau seperti kacang lupa kulit, setelah enak lupa membalas jasa?" Kata Arum pedas. 

Dhani hanya terdiam. Dia tau benar, satu kalimatnya akan dihajar oleh ribuan kalimat lainnya yang lebih menyakitkan. 

" Uang bukan masalah untuk kami. Sebutkan saja jumlahnya tspi datangkan minimal lima ribu orang ke pengadilan. Mengerti?" Kata Arum geram seraya menarik tangannya dari meja.

Dengan kesal ia bangkit dan keluar dari ruangan Dhani sambil membanting pintu. Sebagai laki-laki Dhani merasa terhina tapi tak berdaya karena yang dihadapinya wanita. Frustrasi dan lelah, Dhanipun mengangkat telponnya dan menghubungi pasukan cyber bawah tanahnya untuk bergerak. Pesannya jelas dengan tagar selamatkan Hanafi dari perskusi, Dhani mencoba menggalang massa. Ini adalah perintah di luar partai. Ini kewenangannya murni tanpa campur tangan partai.

Tagarpun beredar dan penggalangan massa akan siap dalam waktu beberapa hari sebelum sidang perdana. Pesan-pesan rahasia di edarkan di kalangan kaum muda militan dan simpatisan. Sementara Dhani mendapatkan suntikan dana dari Arman putra sulung Hanafi yang duduk di dewan perwakilan rakyat pusat.  Dhani merasa lebih nyaman berhubungan dengan putra-putra Hanafi karena emosinya yang lebih terkendali dan masuk akal.

😊😊😊😊😊.......

Tagar-tagar yang muncul diamati oleh Krish Narayan sebagai salah satu jajaran pimpinan kepolisian pusat. Beberapa laporan yang masuk kepadanya mulai melihat ada gerakan anarkhis bawah tanah untuk mengacaukan sidang pengadilan. Krish mensinyalir bahwa tagar ini di koordinasi oleh salah satu atau bahkan seluruh dewan pimpinan partai dimana Hanafi bernaung. Namun Krish tidak mau mengambil insiatif tindakan sebelum ada bukti yang cukup.

" Pergerakan dukungan yang masuk semakin cepat, pak." Kata Bripda Roni yang membawahi pasukan cyber kepolisian. 

" Lacak server utamanya dan cari siapa-siapa saja yang mengawali tagar. Lanjut dengan investigasi. Kasus ini cukup sensitif. Jadi jangan sembrono untuk menanganinya. Orang ini cukup banyak pendukungnya meskipun mulutnya jahat. Kita harus mengantisipasi supaya tidak ada tindakan anarkis baik dari kubu pendukung maupun kubu seberang. Tugas kita menertibkan dan menjaga stabilitas keamanan. Kita tidak berpolitik." Jawab Krish.

" Siap, pak." Jawab Roni.

Krish adalah perwira menengah muda di kepolisian yang menangani keamanan politik negara. Keahliannya adalah cyber crime dan kejahatan politik. Ia mengantisipasi berita bohong, fitnah, hoax dan ujaran kebencian yang biasanya melibatkan massa. Ia mendapatkan pendidikan dan pelatihan khusus dalam pengendalian pengerahan massa. Usianya cukup muda untuk jabatannya, wajahnya tampan dan perawakannya bagus. Krish adalah orang yang hati-hati, meskipun karena jabatannya ia mengenal banyak orang-orang partai, ia menjaga jarak dengan mereka karena situasi mental orang-orang partai ini sulit diprediksikan, apalagi jika sudah menyangkut suap dan korupsi. Krish sangat menjaga netralitasnya, namun untuk beberapa orang yang memang disinyalir memiliki kecenderungan makar dan anakis, Krish telah memiliki catatan beberapa nama baik dari kubu Hanafi maupun lainnya. Krish hanya merasa bahwa ulah para politisi ini sudah mulai masuk ke tahap yang membahayakan bagi keamanan negara. Mereka senang mengeluarkan statement tanpa berpikir akibatnya bagi kelangsungan keamanan negara. Padahal sekali kepercayaan antar golongan terkoyak maka chaos akan melanda seluruh negri. Sebagai pemangku jabatan yang baik Krish mencoba menjaga dan menyeimbangkan iklim politik yang tidak sehat ini dengan cara mengedukasi masyarakat terutama kaum mudanya untuk bijak menggunakan sosial media, sekaligus mengendalikan berita-berita meresahkan dengan counter cyber.

Wajah tampannya sesekali berkerut resah setiap tagar baru muncul dengan kalimat-kalimat yang provokatif. Namun ia dan timnya sangat hati-hati dalam mengcounter tagar-tagar tersebut. Krish mempunyai tim yang sangat ahli di bidang IT yang mampu mengacaukan sistem dan mengacak pesan sehingga hal-hal negatif yang berkembang di dunia maya dapat dibatasi. Hal ini untuk menjaga kestabilan politik dan keamanan. Hanafi sering mengejeknya dengan sebutan aparat anti demokrasi, tapi Krish bangga dengan tugasnya menjaga kedaulatan negaranya dan tak peduli julukan apapun yang disematkan padanya

."Sudah kau dapatkan link utamanya?" Tanya Krish. Roni menjawab 

" Siap. Sudah pak. Namun link tersebut tidak dikendalikan oleh target langsung. Sehingga hal ini belum bisa dijadikan alasan penangkapan." 

Krish tampak kesal. Menangkap penyebar tagar akan sia-sia jika tidak mendapatkan sumbernya. Hal itu hanya akan membuat sumbernya bisa berkelit.

 

Orang-orang dibalik cyber crime ini memang licin seperti belut. Mereka akan menyangkal semua pernyataan penyebar hoax apabila bukti bahwa sumber beritanya adalah mereka tidak di dapatkan secara jelas. Cyber Crime atau kejahatan cyber adalah kejahatan yang sedang trend saat ini. Para peretas-peretas muda sering mencobai aparat untuk dapat memperoleh keuntungan dari hasil kejahatannya itu. Ada beberapa hal yang masuk ke dalam kejahatan ini seperti Unauthorized acces yang terjadi ketika seseorang memasuki atau menyusup ke dalam suatu jaringan computer secara tidak sah, tanpa izin dan tanpa sepengetahuan pemiliki jaringan computer. Tujuannya bisa bermacam-macam yaitu untuk mengetahui tingkat pengamanan data dan ada kecurigaan untuk mengambil data secara tidak sah kemudian dijual, atau untuk kepentingan pembobolan keamanan, namun bisa juga hanya disinyalir sebagai aktivitas yang mencurigakan dan tidak bersahabat. Contoh tindak criminal ini adalah probing dan port.[1] Selain itu ada yang disebut dengan illegal content atau kejahatan yang dilakukan dengan cara memasukan data atau informasi ke internet tentang sesuatu yang tidak benar, melanggar ketertiban masyarakat, tidak etis dan sebagainya. Apa yang dilakukan oleh Hanafi dan kroni-kroninya adalah hal semcam ini. Memutar balikan fakta, menyebarkan hoax untuk kepentingan politik tertentu. Hal ini cukup mengganggu keamanan dan ketertiban Negara, namun karena permasalahan system hukum yang tidak siap untuk mengatasi dan mencegah laju perkembangan teknologi, kepolisian harus sangat hati-hati di dalam menangai hal-hal semacam ini. Beruntung Kepolisian memiliki Krish yang tidak hanya brilliant di bidang IT namun mampu menghimpun peretas-peretas muda untuk dapat melakukan kegiatan yang lebih positif dalam menggunakan keahliannya.

Krish mencatat beberapa links yang sudah lama dicurigai dan selalu muncul jika ada pemberitaan negative berkait dengan kebijakan pemerintah yang memotong laju politik hanafi dan keluarganya. Selama ini kepolisian hanya meretasnya saja supaya tidak dapat mengupload data, namun setiap kali muncul links serupa dengan content yang juga serupa. Perintah penangkapan baru bisa dilakukan jika ada bukti yang kuat bahwa tagar-tagar tersebut memang secara terang dan meyakinkan bermuatan isi yang tidak pantas atau illegal.  Krish harus tetap menjaga sisi demokratisnya karena untuk menentukan apakah content atau isi dari tagar itu merupakan ujaran-ujaran yang tidak pantas setelah mendapat klarifikasi dari beberapa ahli di kepolisian tentang hal tersebut.

Di saat yang yang menegangkan tiba-tiba Bripka Amanda masuk ke ruangan dan memberitahu pada Krish bahwa seorang wanita ingin bertemu dengannya. Krish mengernyitkan dahinya dan melihat jam tangannya. Hampir pukul sepuluh malam. Mau apa wanita itu datang dan ingin menemuinya. 

“Bukannya kalau mau melaporkan tindak kejahatan bisa denganmu atau Bripka Arden di depan?”Tanya Krish kepada Bripka Amanda.

 “Saya sudah memastikannya, Pak. Tetapi katanya ini urusan pribadi.” Sahut Bripka Amanda. Krish mengangguk. 

“Siapa namanya?”Tanya Krish. “Nyonya Arum, Pak.” Bripka Amanda menjawab dengan sigap. 

“Arum??”Krish menggumam tidak jelas. Sesaat kemudian

 “Suruh tunggu di ruanganku.”Katanya. 

“Siap.” Amanda menghormat dan pergi untuk menemui tamu komandannya.

 “Ron, kutinggal dulu ya. Kalau ada perkembangan lapor ke ruanganku.”Katanya pada Roni seraya menutup pintu. Kata siap dari Roni terdengar lirih di balik pintu itu.

 

Krish berjalan dengan langkah yang mantap menuju ruangannya. Dadanya yang bidang, kakinya yang panjang dan tubuhnya yang tegap adalah ciri khasnya yang mempesona. Matanya bulat besar dan tajam. Deret giginya putih dan rapi membuat senyumnya penuh dengan magnet. Meskipun akhir-akhir ini senyum itu hampir hilang dari wajah tampannya itu karena beban pekerjaan dan gentingnya situasi. Krsih membuka ruangannya dan hawa sejuk mesin pendingin ruangan menghempas wajahnya disambut senyum seorang wanita muda yang sudah ada di dalam duduk menunggunya.  Wanita itu berdiri perlahan dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Krish menyambut jabat tangan itu tetapi dengan wajah yang datar tanpa ekspresi apalagi senyum.

 “Ada yang bisa saya bantu, mbak….?” 

“Arum. Nama saya Arum, Pak.”Kata Arum menjawab pertanyaan Krish yang belum selesai dengan ramah dan sikap yang sedikit dibuat-buat. 

Tubuhnya yang semampai indah Nampak seperti melayang ketika kembali duduk di sofa saat Krish memberikan isyarat untuk mempersilahkannya duduk. Wangi parfum Arum memenuhi seluruh ruangan mengalahkan pengharum ruang Krish dan itu membuat Krish berfikir bahwa sebelum dating ke sini wanita ini tentu menguyurkan parfumnya berbotol-botol ke tubuhnya. 

Krish sedikit menggerakan kepalanya untuk sekedar membuat penciumannya kembali normal. Aroma apel dan jasmine ini mengganggunya. Sesaat ia mengamati wanita dihadapannya. Tidak cantik tapi tahu bagaimana membuat laki-laki meleleh di hadapannya. Wanita itu menggunakan tunik yang sedikit ketat dan memperlihatkan lekuk tubuhnya, belahan pada lehernya sengaja dibuat sedikit lebih rendah sehingga keindahan dibaliknya terasa menonjol. Di bawah Tuniknya ia memakai rok panjang dengan rekahan hingga hampir pangkal betisnya yang putih susu berisi. Bahan yang digunakanpun dari kain tile berwarna hijau muda, kontras dengan warna kulitnya yang putih. Sayang Krish bukanlah pria muda yang tidak matang. Segala bentuk wanita di kantor polisi pernah dihadapinya. Maka senyum licik Krish tiba-tiba tersungging  melihat usaha gagal wanita dihadapannya itu.

 “ Baik, nyonya Arum…” Krish mencoba membuka pembicaraan 

“Saya masih nona, Pak Krish Narayan. Saya masih muda, belum lagi melewati 30 tahun. Sama dengan Bapak, saya pikir yang akan saya temui adalah perwira polisi yang sudah tua. Ternyata saya salah. Bapak…eh mas masih muda ternyata. Jadi saya panggil mas saja supaya lebih akrab.”Kata Arum sedikit lancang. 

Krish merasa muak tapi toh tetap ingin tahu apa yang diinginkan perempuan muda ini. 

“ Begini mas, saya ini putri dari Bapak Hanafi Ardinata yang sedang di tahan.  Mas pasti tahu ayah saya, kan?” jelas Arum. 

“Lalu ?” Tanya Krish.

“Begini mas, ayah saya ditahan karena tuduhan makar dan ujaran kebencian bukan? Tapi saya hari ini membawa bukti baru bahwa itu semua adalah fitnah yang dipakai oleh lawan politik ayah saya untuk menjatuhkannya.” Kata Arum.

 “Ini Saya membawa bukti-buktinya di dalam flashdisk ini. Sebenarnya saya bisa saja melaporkan ini pada bawahan-bawahan mas. Tetapi saya takut bukti ini tidak sampai ke sidang pengadilan nantinya. Nah saya ingi mas menahan orang-orang yang bukti-buktinya ada dalam disk itu dan kalau bisa mohon supaya status tahanan ayah saya diubah menjadi tahanan luar.” Kata Arum.

 Krish tiba-tiba pecah ketawanya. Entah kenapa ia merasa geli dengan perempuan ini yang merasa keluarganya begitu istimewa. Arum mengernyitkan dahinya. 

“Maaf. Saya kelepasan.” Kata Krish senang. “Begini nona Arum. Semestinya disk ini anda simpan sebagai bukti dari ketidakbersalahan ayah nona. Harusnya nona tidak perlu repot datang ke sini malam-malam. Minta saja kuasa hukum anda mengcopy ini dan menyerahkannya pada kepolisian jika memang di rasa perlu.Biarkan kuasa hukum anda atau anda membuat laporan orang-orang yang anda curigai ini di sana. Tidak perlu dengan saya. Tempat ini ada prosedurnya begitupun jika anda ingin penahanan pak Hanafi ditangguhkan.”Kata Krish. 

“Tapi mas…., bukti itu otentik lho dan menyangkut pembesar-pembesar di negeri ini,kan kalau jatuh ke tangan yang…”Kata Arum mencoba mempengaruhi Krish. 

“Sudahlah nona,. Saya tahu itu penting. Tapi kami di kepolisian menjalankan tugas sesuai prosedur. Kebetulan malam ini saya sedikit sibuk, jadi anda bisa membuat rincian laporannya bersama Bripka Amanda.Silahkan” Kata Krish sambil mempersilahkan Arum keluar dari ruangannya. Senyumnya masih mengulum membuat jantung Arum serasa terlepas. 

Ini kegagalannya yang kedua dengan pria. Arum kesal bukan main.

”Tampan, tapi sombong. Awas kau Krish. Jika sampai aku gagal menaklukanmu, jangan sebut aku putri Hanafi Ardinata.” Katanya dalam hati.

 Tawa Krish masih terdengar oleh telinganya dan itu membuatnya merasa terhina. Apalagi saat Amanda mengawalnya ke kantor di depan dan menegurnya 

“ Mari Bu, saya bantu. Lain kali kalau mau lapor, ke kita saja. Pak Komandan sibuk sekali akhir-akhir ini. Tadi saya pikir ibu teman kuliah atau SMAnya jadi saya pikir itu benar-benar urusan pribadi.” Kata Amanda sambil tersenyum.

 



Markum menghela nafas panjang. Hatinya sedikit lega karena akhirnya ada juga yang berani melawan tikus tua itu.  Setidaknya untuk sementara ini, ia bisa memusatkan perhatiannya untuk menata kembali partainya sehingga ia secara perlahan dapat menyingkirkan dominasi keluarga tikus tua dengan perlahan. Namun Markum bukan tidak mengerti, jika hukum ternyata meleset menjerat tikus tua itu bukan hanya karier politiknya yang tamat, mungkin hidupnyapun menjadi pertaruhan mengingat tikus tua dan keluarganya ini memiliki militant-militan berbahaya yang bekerja tanpa menggunakan rasio sama sekali.

 

“Beepp….beep….beeepp.” Suara dering ponselnya memecah kesunyian,

Markum menatap layar androidnya. Dan ada nama yang tertulis di sana. Bukan nama yang diharapkan tapi setidaknya juga bukan yang dikuatirkannya.

 “Assalamualaikum, Pak.”Suara yang nyaris indah terdengar diujung ponsel. 

“Ah, Walaikumsalam Mas Budiman. Apa kabar?” Sahut Markum ramah. 

“Baik…baik sekali, pak.” Jawab Budiman. Sejenak keduanya terdiam. Lalu Budiman menyambung perkataannya seolah mencari pilihan kata yang tepat untuk menyatakan perasaannya. “Saya ingin berterima kasih untuk semua catatan yang pak Markum berikan kepada saya. Kalau bukan karena catatan-catatan itu, KPK tidak akan bergerak. Kita tinggal menunggu Arman dan Arfa membuat kesalahan, supaya operasi tangkap tangan yang kita harapkan terjadi. Toh Kepala ularnya sudah masuk kandang, tinggal menunggu tubuh dan ekornya mengikuti.” Kata Budiman dengan hati-hati.

“Iya mas. Tapi kita tetap harus berhati-hati karena orang tua itu cukup licin. Anak-anaknya juga begitu. Cerdas sih tidak, tapi nekad. Malu saya jika melihatnya. Tapi apa boleh buat, segala kemungkaran kan harus diakhiri.”Jawab Markum. 

Suara tawa Budiman terdengar di ujung ponsel, suara tawa yang lepas tanpa beban. Hanya tawa itu mengisyaratkan sesuatu bagi Markum untuk mengambil sikap berjaga-jaga. Bagaimanapun Budiman adalah salah satu anggota partai pesaingnya dan rivalnya di dewan perwakilan rakyat, bisa saja ia juga bermain untuk menjebaknya seperti saat ini ia menjebak Hanafi.

”Mas, tapi sebaiknya kita tetap menjaga jarak. Informasi akan terus saya kirim, tetapi jangan dengan hubungan personal seperti saat ini terlalu riskan.” Sambung Markum.

 Suara tertawa Budiman sedikit mereda dan dengan sedikit mengejek Budiman mengejek 

“Pak Markum takut. Saya kan sudah bilang, Bapak tidak perlu takut. Toh saya yang membuat laporan di KPK bukan Bapak. Bapak akan tetap bersih. Soal data saya peroleh darimana, itu akan tetap jadi rahasia. Assalamualaikum.” Kata Budiman menutup pembicaraan. 

“Walaikumsalam.”Sahut Markum pelan.

 

Markum yakin pada integritas Budiman karena selama mereka saling mengenal, Budiman adalah sosok yang jujur dan bersih. Julukannya adalah incorruptible atau orang yang tidak bisa disuap. Ia hanya memanfaatkan Budiman untuk menghambat sepak terjang Hanafi karena ia tidak cukup punya keberanian dan pendukung untuk melakukannya. Sementara Budiman adalah sosok orang muda partai yang bersemangat anti korupsi, idealis, politisi yang bersih dan jujur. Itu sebabnya Markum percaya kepadanya walaupun Budiman merupakan anggota partai saingannya.

Markum terpaksa melakukan hal itu bersama beberapa anggota partai karena nuraninya sudah tidak lagi mampu menahan prilaku Hanafi yang semakin ngelantur dan hanya mencari keuntungan serta kekuasaan pribadi. Air mata Markum perlahan jatuh, hati kecilnya yang rapuh merasa begitu terluka karena ia yang harus mengakhiri petualangan sang orator partai. Padahal masih jelas dalam ingatannya bagaimana keduanya bersahabat sejak masih kanak-kanak dulu dan meniti karier bersama. Markum tidak tahu, apa yang membuat sahabatnya itu berubah. 

Markum menjatuhkan dirinya di sofa. Ia meletakan kepalanya pada sandaran sofa yang empuk, angannya kembali pada saat ia mengenal Hanafi di masa kanak-kanaknya dulu….dulu sekali.



 

“Kau sedang apa, Nif. Kok ngomong sendiri kaya orang gila. Di depan kaca lagi, lagakmu kaya bintang film aja.”Kata Markum. 

Hanafi cuma meletakan telunjuk dibibirnya sebagai isyarat agar Markum diam.

“ Haaahhh, kamu nggak asyik ah, Nif. Ayo kita main bola di lapangan deket rumah Pak Sutar saja. Nggak usah main bicara sendiri. Nanti dikira wong gendeng, wong edan. Kamu nggak cocok jadi bintang film. Badanmu kecil, kurang gizi. Kamu juga nggak cakep. Udah….ayo, nanti kubelikan pecel mie kesukaanmu sama es dawet.” Lanjut Markum sambil menarik lengan Hanafi. Hanafi mendelik. Markum jadi mengkerut nyalinya karena takut.

“Bentar. Aku sedang latihan pidato. Aku bukan mau jadi bintang film. Aku mau jadi orator supaya bisa jadi presiden.” Jawab Hanafi keras. Markum terbelalak. Dan tiba-tiba tawanyapun pecah. 

“Oooolah Nif…nif. Ngimpi kowe. Aja ngimpi di siang bolong. Presiden. Lha kita ini cuma anak kampung lho. Wis dadi pemain bal wae.Trus orator itu makanan apa?” Kata Markum geli. 

Hanafi cemberut, mukanya ditekuk sehingga menyerupai muka kodok. Markum bertambah keras tawanya.

 “Kum…kon iku bodo timen, ora ngerti orator. Makanya belajar. Baca buku yang banyak. Ora mung trima ngebaki waduk. Orator itu adalah orang yang ahli pidato. Ahli ngomong di depan orang banyak.” Jawab Hanafi dengan tekanan suara yang tertahan karena menahan kesal.  Markum melongo sambil menggumam 

“Ahli pidato….kaya pak Ustadz, apa kaya pak lurah kae?” 

“Iya. Tapi lebih bagus dari mereka.”Kata Hanafi dengan marah. 

“Ya uwis, aja nesu. Aku kan cuma bercanda. Jadi lurah juga bagus, nanti kamu angkat aku jadi carik (sekertaris desa) ya. Kaya Bapakku sekarang.”Kata Markum. 

“Wegah. Tulisanmu jelek, nggak bisa dibaca. Makanya belajar, jangan cuma main bola.” Jawab Hanafi.

 

“Hanafi…..”terdengar teriakan ibunya dari dapur. 

“Iya, bu.” Sahut Hanafi sambil berlari ke dapur. 

Ia melihat ibunya membawa sepiring penuh bakwan jagung yang habis digoreng, bau gurih dari telurnya membuat perut Hanafi menyanyi. Ibunya menyodorkan piring itu ke Hanafi dengan sepanci sayur bobor bayem[2] dan labu China. Bagi Hanafi makanan itu terbilang mewah, karena selama ini jangankan membeli telur, bisa makan dengan sambel terasi saja dan nasi putih itu sudah terasa nikmat. 

“Sana makan siang dulu. Ajak Markum makan. Telur yang dipakai bikin bakwan ini pemberian ibu Markum, jadi hari ini kita bisa makan agak enak sedikit. Jangan suka bertengkar dengannya ya. Keluarganya baik sekali pada keluarga kita.”Kata Ibu Hanafi lembut sambil mengelus kepala anak laki-lakinya. Hanafi mengangguk.

 “Oh ya, sisakan buat mas Hamzah, Hizam, dan Salma. Nanti Anun, biar ibu yang suapin.”lanjut ibunya. Hanafi mengangguk sekali lagi.

 

Markum yang mengintip dari balik jendela merasa iba melihat keluarga itu. Ia merasa tidak seharusnya ikut mengurangi jatah makan Hanafi. Apalagi telur yang digunakan membuat bakwan adalah pemberian ibunya. Tapi terlambat Hanafi sudah mengambilkannya sepiring nasi, sepotong bakwan, sayur lodeh dan sambel terasi. Markum sedikit malu, tapi Hanafi meyakinkannya bahwa semua sudah beroleh jatahnya, jadi tak apa jika Markum sesekali makan bersama di rumah mereka. Markum menghabiskan nasi di piringnya, selintas rasa bersalah datang di hatinya karena ia sering mencela masakan ibunya jika tidak enak dan bahkan tidak menghabiskan nasinya. Saat melihat Hanafi hatinya begitu haru, telur satu butir yang biasanya dimakan sendiri seorang, ini dimasak bakwan dicampur terigu, sayuran dan garam agar bisa dimakan bersama, berenam bahkan bertujuh karena ada dirinya.Markum matanya berkaca-kaca.


Keluarga Markum sedikit berbeda dengan keluarga Hanafi. Ayah Markum, Badrun adalah sekertaris desa, meskipun gajinya tidak besar, ayah Markum masih memiliki sawah dan kebun sehingga untuk kebutuhan sehari-hari mereka mengambil dari sawah atau kebunnya. Markum juga memiliki peliharaan berupa sapi, kerbau, kambing, ayam dan kelinci. Ibu Markum tidak pernah membeli telur dan untuk kedua anaknya yakni Markum dan Nafsi, ibunya mengambil telur dari ayam-ayam peliharaannya. Itupun masih bersisa banyak. Oleh karena itu bu Badrun sering membaginya pada ibu Julaikah, ibu Hanafi yang kebetulan menyewa kontrakannya di belakang rumah.

Hanafi dan Markum berteman baik karena usia mereka tidak terpaut jauh hanya sekitar dua sampai tiga tahun saja. Hanafi saat itu berusia hampir 13 tahun sedangkan Markum kurang lebih 10 tahun. Hanafi senang mengajarkan banyak hal pada Markum yang meskipun lebih mampu secara ekonomi tapi kurang terpelajar. Hal itu disebabkan karena pergaulan Markum lebih sering dengan anak-anak kampung yang tidak bersekolah. Itu pula yang menyebabkan bu Badrun sangat menyayangi Hanafi yang pintar dan rajin. Ia berharap Markum bisa sepintar Hanafi. Bu Badrun juga mendorong agar Markum lebih sering bergaul dengan Hanafi.

Markum ingat benar waktu pertama kali anak-anak mulai mengenal buku tulis, ibunya membawanya dan Hanafi ke Malioboro dengan naik andong. Mereka menuju toko buku Hien Hoo Sin untuk bisa membeli buku tulis dan ballpoint. Di sana ada macam-macam buku, kertas dan alat tulis. Hanafi senang sekali. Apalagi toko itu tidak hanya menyediakan buku tulis dan alat-alat tulis tetapi juga buku-buku popular. Mata Hanafi berbinar. Ia menyentuh permukaannya seakan harta yang berharga. Ia ingin sekali memiliki buku-buku itu tapi saat ia bertanya harganya pada pelayan toko itu, ia hanya bisa menelan ludah. Buku-buku itu terlalu mahal bahkan jika ia harus menganggkut beras enam kali seminggu sepulang sekolah. Keresahan itu ditangkap oleh Bu Badrun.

 “Nif, kau mau buku itu?”Tanyanya 

“Nggak kok bu lik.Saya cuma nanya saja. Harganya ternyata mahal sekali.”Katanya dengan raut yang kecewa. 

Bu Badrun tersenyum. Setelah membeli alat tulis untuk Hanafi dan Markum, bu Badrun mampir ke warung Soto langganannya di seputaran Taman Sari. Disaat seperti itulah Hanafi baru bisa merasakan makan daging dengan kuah soto segar.Selain jika hari raya kurban. Hanafi makan dengan lahapnya, begitu juga dengan perkedelnya, terasa lembut di lidahnya. Hanafi begitu bersyukur karena Hamzah kakaknya dan Hizam adiknya tidak seberuntung dirinya. Matanya berkaca-kaca jika mengingat hal itu.

 

Setiba kembali di rumah, Markum sibuk dengan alat tulis barunya. Sementara Bu Badrun diam-diam mendekati Hanafi. Ia menyodorkan buku yang diinginkan Hanafi.

“Nif, ini buku yang kamu inginkan. Bu lik beli untuk kamu. Tapi Hanafi harus janji untuk menjaga Markum dan mengajarinya seperti adikmu sendiri” Kata Bu Badrun. 

Hanafi memeluk buku itu dengan air mata berlinangan. 

“Terima kasih Bu Lik. Saya janji akan mengajari Markum dan kalau saya berhasil nanti, saya juga pasti akan mengajak Markum. Bu Lik tidak usah kuatir.” Sahut Hanafi sambil mencium tangan bu Badrun. Bu Badrun tersenyum.

 

Malam harinya tidak ada yang lebih membahagiakan Hanafi karena selain mendapat semua perlengkapan sekolah, ia juga mendapatkan buku yang diinginkannya. Saat itu Hanafi buknanlah orang yang serakah. Ia membagi perlengkapan sekolah yang dibelikan bu Badrun pada ketiga saudaranya dan ia mencukupkan dirinya dengan satu buku tulis, satu pensil dan satu ballpoint. Sementara tiga yang lain ia bagikan pada Hamzah, Hizam, dan Salma

 

Anun adalah anak bungsu, usianya saat itu baru enam tahun, namun ia mengalami cacat mental sehingga hampir tidak bisa melakukan kegiatan sendiri. Makan, minum, mandi semua harus dilakukan oleh ibunya. Itu sebabnya Hizam dan Salma berbagi waktu menjaga Anun selain jika ibunya sedang di rumah. Hizam masuk sekolah pagi dan Salma masuk siang. Mereka bergantian menjaga saat ibu mereka bekerja di pasar untuk berjualan batik.

 

Modal yang terbatas membuat jualan Ibu Julaikah tidaklah membawa untung besar, tapi cukuplah untuk membayar kontrakan dan makan walau sederhana, Hamzah saat itu berusia hampir 16 tahun dan telah duduk di bangku SMA. Sepulang sekolah ia bekerja sebagai penjaga toko di kota kabupaten. Sedangkan Hanafi duduk di bangku SMP dan sepulang sekolah ia bekerja sebagai kuli angkut di pasar. Itu sebabnya mereka berdua tidak bisa menjaga Anun. Uang hasil pekerjaan mereka digunakan untuk biaya berobat Anun dan tambahan uang saku buat Hizam dan Salma. Hamzah dan Hanafi sendiri tidak pernah membayar sekolah karena otak mereka yang cukup cerdas sehingga tidak perlu membayar uang sekolah dan seragam. Untuk alat tulis dan lainnya seringkali mereka mendapat bantuan baik dari sekolah, dari Raudah kakak perempuan mereka atau dari Bu Badrun ibu Markum. Tak ada yang khusus kecuali sebuah keluarga yang mencoba bertahan di tengah keterbatasannya.

 

Markum sangat mengagumi  Hanafi terutama pada saat Hanafi berpidato di depan anak-anak kampung. Semuanya melongo mendengar suara gelegarnya dan mengikuti irama pada setiap tekanan kalimat yang dibuatnya. Markum bangga bisa berteman dengan Hanafi, apalagi Hanafi adalah sahabat yang sangat baik, selalu membantunya bila ia sedang kesulitan dan ada jika ia butuh teman untuk bercerita. Hanafi juga sosok yang periang dan lucu.

 

Suatu siang yang panas Markum tidak berhenti berceloteh pada Nafsi adiknya kalau Hanafi terpilih sebagai wakil sekolahnya untuk mengikuti lomba pidato di Kecamatan. Markum bangga sekali. Nafsi juga senang mendengar cerita kakaknya bahwa di kecamatan nanti, juaranya akan mendapatkan sepeda baru dan uang pembinaan yang cukup besar. Kemudian akan dikirim sebagai peserta di Kabupaten, Propinsi dan tingkat nasional. 

“Wah berarti mas Hanafi akan dikirim ke Jakarta dong, mas?” Tanya Nafsi. 

“Iya. Itu sudah pasti, kalau Hanafi menang.” Kata Markum.

”Aku yakin, Hanafi pasti menang. Lha wong tiap hari dia latihan kok, Naf. Aku lihat sendiri, gayanya itu buaggguuuss buanget.” Lanjut Markum. 

Nafsi mengangguk setuju, namun tiba-tiba Nafsi berkata dengan keras 

“Tapi mas hanafi punya pesaing berat, mas.”Katanya. 

“Sapa?” Teriak Markum dalam logat Jawa medoknya. 

“Teja, anak pak Lurah. Dia ikut juga. Teja juga bagus pidatonya, mas.” Kata Nafsi. 

“Haalllaah, ming Teja. Kecil itu, Naf. Dia memang bisa pidato, tapi suaranya jeullekk pol. Kaya kaleng rombeng dipukuli. Beda sama Hanafi. Suaranya gedhe, gandhem….siiiipp kaya pak presiden.” Kata Markum. 

Nafsi tertawa geli melihat kakaknya yang membela Hanafi dengan kerasnya.

 



 

Air mata Markum mengalir pelan melalui gurat-gurat dalam di kulitnya yang sudah menua. Isaknya tertahan. 

“Maafkan aku, Nif. Tapi ini sudah cukup. Aku tidak tahan lagi. Aku terpaksa melakukannya.” Markum menggumam sedih

Hari-hari itu sudah lewat, tapi masih terasa mendalam sakitnya. Hanafi mungkin juga tidak akan pernah lupa akan sakitnya itu sehingga ia melampiaskannya pada semua orang ketika ia bisa dan sanggup. Markum berdiri dari duduknya dengan susah payah. Ia berjalan menuju mejanya. Foto masa mudanya berangkulan dengan Hanafi belum juga pudar, namun persahabatannya mulai samar sejak usia mereka semakin menua. Ia raih foto itu pelan dan diamatinya dengan seksama. 

“Harusnya aku menghentikanmu sejak lama. Aku bodoh, Nif. Aku bukan sahabatmu yang baik. Aku bahkan tidak ada disisimu saat kau ada di dalam sana. Mengapa? Mengapa, Nif? Mengapa takdir ini memberikan pada kita permainan keadilan hingga aku saat ini harus menjadi pembawa pisau untuk menusuk punggungmu dari belakang, hanya supaya kau berhenti?”kata Markum dengan sedih.

 



 

Luka itu bermula saat Hanafi memenangkan lomba pidato di kecamatan. Semua orang mengelu-elukannya, bahkan yang tadinya membencinya tiba-tiba merasa sok akrab dan sok baik. Tapi Hanafi tetap berusaha bersikap baik dan rendah hati. Markumlah yang paling bahagia saat Hanafi menang. Tak hentinya ia meneriakan yel-yel kemenangan Hanafi sambil berputar-putar dengan sepeda baru Hanafi. Nafsi dan Salma juga menyambut kemenangan itu dengan membuat ketan srundeng kesukaan Hanafi. Bu Badrun dan Pak badrun bahkan merelakan tiga ekor ayamnya untuk dimasak ingkung dan dimakan bersama dua keluarga. Semua bahagia kecuali Teja, putra kesayangan pak Lurah. Karena Hanafi menang, Teja hanya mendapatkan juara dua, padahal ia sangat ingin bisa dikirim ke Jakarta. Namun karena lomba sekabupaten menghendaki dua wakil dari kecamatan maka Teja tetap bisa maju ke tingkat kabupaten. Hanya saja saat nanti melaju ke propinsi, kabupaten hanya boleh mengirim satu wakil saja. Begitupun saat menuju tingkat nasional. Oleh karena itu Teja sangat berharap bisa mengalahkan Hanafi, namun ketakutannya jauh lebih besar dari hasratnya maka ia mencari cara agar bisa menikung Hanafi.

 

Hanafi sadar benar bahwa apa yang dicapainya saat ini hanyalah langkah awalnya untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi, Oleh karenanya ia berlatih mati-matian agar dapat memenangkan tahap-tahap berikutnya. Ia melatih vokalnya, diksi, penekanan kalimat dan irama dalam pidatonya. Pagi setelah subuh ia akan mandi sambil mengolah vokalnya, dan saat harus menimba air, ia melatih nafas dan artikulasinya. Demikian keras ia belajar hingga terkadang pak Badrun sering terkejut mendengar suara Hanafi yang mirip dengan suara pak Presiden. Seperti pagi itu saat pak Badrun siap pergi ke kelurahan dengan sepedanya ia mendengar suara Hanafi yang mantap keluar dari lubang-lubang bilik bambunya. Pak Badrun tersenyum dan dalam hati berdoa untuk kesuksesan Hanafi.

 

Saat tiba di kantor kelurahan, pak lurah sudah berdiri di depan ruangannya seolah akan mengatakan sesuatu yang penting. Setelah bertukar salam, pak Lurah merangkul pundak pak Badrun. Pak Lurah membawa pak Badrun masuk ke ruangannya dan mempersilahkan pak Badrun duduk.

“Jadi anak yang namanya Hanafi itu ngontrak di bekas gudang berasmu itu, Drun?” Tanya pak Lurah. Badrun mengangguk.

 “Jadi begini, Drun. Teja anakku lanang itu kan pengin bisa ke Jakarta. Jadi ini maaf yo kalau aku bicara langsung tanpa basa-basi karena kamu itu udah kuanggap seperti saudara sendiri. Aku pengin minta tolong mbok ya Hanafi itu nggak usah ikut waktu lomba di Kabupaten. Biar Teja saja yang mewakili kecamatan.Kalau masalah hadiah, ooo itu ndhak penting untuk Teja. Aku akan ganti kesempatan ini pakai duwit tiga kali hadiah yang diberikan di kabupaten. Piye?” Tanya Pak Lurah. 

Bagaikan disambar petir di siang bolong, wajah pak Badrun menjadi pucat. 

“Lha tapi Hanafi itu bukan anak saya, pak.” Sanggah pak Badrun mencoba menghindari permintaan pak Lurah.

”Lho kamu kan bisa bujuk ibunya, ta. Mosok ndhak bisa. Kalau dia tidak mau ya tinggal disuruh pindah kontrakan aja, lha wong itu gudangmu ta?” Kata Pak Lurah dingin. Badrun tertunduk, hati kecilnya  meolak untuk melakukannya. Namun menentang pak Lurah dengan terang-terangan sama saja mencari mati. 

“Bagaimana, Drun? Atau kamu juga sudah bosan jadi carik?”Pak Lurah lebih menegaskan keinginannya. Badrun serasa lunglai tak berdaya.

 “Ya, saya usahakan, Pak.” Jawab Badrun lirih.

 

Pak lurah lalu mengeluarkan dua amplop tebal yang diserahkan kepada Badrun. 

“Ini satu untukmu dan ini satu untuk anak itu pengganti hadiahnya. Bilang saja lomba di kabupaten di batalkan. Nanti aku yang bilang ke pak camat kalau anak itu berhalangan hadir karena ibunya sakit.” Kata Pak Lurah.

Badrun menerima amplop-amplop itu dan memasukannya ke dalam tasnya. Hatinya sakit seperti disayat sembilu. Kenapa masih saja ada orang yang bahkan merampas kebahagiaan seorang anak miskin yang yatim, sedangkan dirinya saja berlimpah-limpah hartanya.


Air mata sedih terus mengalir sepanjang jalan pulang ke rumah pak Badrun. Hanya derasnya hujan saja yang membuat air matanya tersamar.Tak seorangpun tahu betapa sakitnya dan betapa pedihnya perasaan pak Badrun. Namun hanya pak Badrun juga yang tahu membedakan air yang menghentak wajahnya itu adalah hujan yang deras mengguyur atau tangisnya yang pecah. Ia benar-benar tidak sampai hati mengatakan ini pada Hanafi,tapi pekerjaan dan jabatannyalah yang jadi taruhan.

 

Sesampainya di rumah, istrinya sudah menyiapkan air panas untuk mandi, secangkir kopi tubruk dan pisang goreng hasil kebun. Pak Badrunpun membersihkan dirinya, berganti baju kaos dan sarung, kemudian duduk menikmati kopinya. Entah mengapa hari itu kopinya terasa begitu pahit. Ia kemudian meminta istrinya untuk memanggil Julaikah, ibu Hanafi. Badrun merasa tak sanggup mengatakan apa-apa pada Hanafi. Julaikah datang dengan wajah kuatir, apalagi sudah hampir dua bulan ia mangkir membayar kontrakan karena uangnya terpakai untuk kebutuhan Anun.

 “Iya, pak Badrun. Maaf, untuk bulan inipun saya belum bisa membayar kontrakan.”Kata bu Julaikah terbata-bata. 

“Oh..tidak apa-apa, bu. Lagipula itu hanya gudang, sudah tidak terpakai pula. Jadi ada ibu dan anak-anak saya malah senang, gudangnya tidak jadi sarang hantu dan tiap hari dibersihkan. Markum juga jadi punya teman.” Sahut Pak Badrun.Sejenak keduanya terdiam. 

Bu Badrun mempersilahkan Bu Julaikah untuk meminum teh yang sudah disiapkannya untuk mencairkan suasana. Bu Julaikah merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan pak Badrun yang setiap kali menghindari tatapannya.

 

Pak Badrun benar-benar bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Namun perlahan ia memperoleh kekuatan untuk mengatakannya

“Bu, saya sebenarnya tidak sampai hati mengatakan ini. Tapi hati kecil saya juga menolak untuk berbohong. Pagi ini pak Lurah bicara dengan saya dan meminta saya untuk menyampaikan pada Hanafi bahwa lomba di kabupaten di batalkan. Tapi itu bukan yang sebenarnya.  Lomba itu akan tetap berlangsung tapi pak Lurah ingin agar Hanafi tidak ikut karena ia ingin Teja yang kelak dikirim ke Jakarta. Saya tadinya menolak keinginan pak Lurah, tapi pak Lurah mengancam akan memecat saya jika saya tidak mencegah Hanafi mengikuti lomba itu. Pak Lurah juga menitipkan ini pada saya untuk disampaikan pada Hanafi. Ada dua amplop, satu untuk saya, satu untuk Hanafi. Tapi saya merasa tidak berhak menerima ini. Jadi ini keduanya saya serahkan pada ibu untuk digunakan sebagaimana seharusnya. Jika ibu mengatakan ini suap, ya ini suap tapi saya hanyalah penyampai pesan saja. Jika ibu menolak, saya akan kembalikan ini ke pak Lurah. Dan ibu boleh tetap tinggal di sini. Saya siap menerima semua konsekuensinya.” Jelas Pak Badrun. 

Bu Julaikah dan istrinya terkejut mendengar penjelasan pak Badrun.

 “Licik sekali.” Bu Badrun angkat suara, tapi pak Badrun memberikan isyarat agar istrinya tetap tenang. 

“Pak dan Bu Badrun, saya sungguh menghargai kejujuran Bapak-ibu sekeluarga. Saya juga sudah sering mendapatkan pertolongan dari Bapak dan Ibu. Apalah arti mimpi Hanafi dibandingkan dengan semua yang Bapak dan Ibu lakukan untuk keluarga kami. Untuk itu, jangan karena mimpi Hanafi, Bapak menjadi kehilangan pekerjaan. Saya akan katakan pada Hanafi, dia pasti mengerti. Dan uang ini kembalikan saja ke Pak Lurah. Saya tidak menjual mimpi anak saya.” Kata bu Julaikah.

 Namun tiba-tiba Hamzah masuk dan berkata 

“Terima saja, bu. Pak Lurah memang harus membayar untuk semua yang dia inginkan termasuk mimpi anaknya.Kasihan Hanafi, jika harus mengorbankan impiannya dan tidak mendapat apa-apa.” 

Bu Julaikah terkejut dan menegur Hamzah 

“Sejak kapan masuk tanpa salam. Apakah kau sudah kehilangan adab?” 

“Adab? Adab yang mana yang sedang ibu bicarakan? Membunuh impian orang kecil demi gengsi dengan uang? Itu yang ibu sebut adab?” Sahut Hamzah marah. 

Bu Julaikah malu sekali dan ia mohon pamit sambil menarik tangan Hamzah. Pak Badrun dan istrinya juga tertunduk sedih. Bu Badrun mengambil amplop uang itu dan membungkusnya dengan kertas kado yang disimpannya.Ia kemudian meminta Nafsi untuk mengantarkan itu pada Hanafi.

 

Hanafi yang polos menerima uang itu dengan suka cita meskipun hatinya kecewa tidak jadi bertanding di kabupaten. Nafsi mengatakan bahwa lomba dikabupaten dibatalkan dan semua diberi kompensasi untuk pembatalan itu. Hanafi menerima semua alasan itu dengan lugu. Ia bahkan memperlihatkan uang itu pada ibu dan saudara-saudaranya. Hamzah menyeringai sinis, tapi ibunya mencubit lengannya sebagai isyarat bahwa Hamzah harus diam. Hanafi gembira dengan uang itu dan berembug bersama saudara laki-lakinya untuk memulai bisnis kecil-kecilan dengan uang itu, namun Hamzah terlihat kurang antusias. 

“Modalnya cukup besar, mas. Kita bisa jadi agen Koran. Di sini kan belum ada. Nanti sisanya biar dipakai Hizam beli ayam, jadi untuk kebutuhan telur, kita tidak perlu selalu menggantungkan diri pada keluarga Pak lik Badrun. Kalau nanti berkembang, telurnya bisa kita setorkan ke agen di pasar. Bagaimana menurutmu ?” Tanya Hanafi. 

Hamzah hanya mengangkat bahu saja. Tapi Hizam tampak bersemangat. 

“Setuju, mas. Apalagi  mas Hanafi sekarang sudah punya sepeda. Kalau banyak yang berlangganan Koran, sebelum berangkat  sekolah kita bisa mengantar Koran dulu.” Hizam menjawab dengan bersemangat. 

“Mas Hamzah kenapa sih? Kok sepertinya nggak suka gitu.” Tanya Hanafi. 

“Aaah, kalau aku sih terserah kau saja. Kan yang punya modal kamu. Jadi aku tidak berhak dong andil bicara.”Kata Hamzah sambil ngeloyor menuju kamarnya. Hatinya sakit tapi ia harus menahannya. Namun ia tak kuasa menyembunyikan hal itu dari Hanafi sehingga ia pergi. 

“Mas Hamzah…”Teriak Hanafi kecewa.

 “Sudah, biarkan saja masmu. Mungkin dia sedang banyak pikiran. Kami percaya padamu kok, Nif.” Sahut ibunya menengahi dengan lembut.

 

Akhirnya Hanafi dan Hizam bekerja sama membangun usaha kecil mereka dari modal yang diperolehnya sebagai kompensasi atas gagalnya lomba di kabupaten. Markum yang tidak tahu skandal pembatalan itu ikut membantu Hanafi mengurus segala hal yang dibutuhkannya seperti memilih induk ayam yang baik,cara memberikan pakan hingga memanen telur. Dalam hal ini Hanafilah yang belajar banyak dari Markum. Sedangkan Hamzah hanya menjadi penonton yang sedih atas segala bentuk manipulasi lurah desa itu terhadap adiknya.

 

Suatu pagi saat Hanafi hendak mengantar Koran., matanya terpaku pada tulisan di Koran bahwa Teja putra dari Lurah desa Bedhono menjadi wakil propinsi untuk lomba pidato di Jakarta.  Ia berulang kali membaca berita itu dengan wajah tidak percaya. Bukannya lomba di Kabupaten itu dibatalkan. Hanafi merasa terluka sekali bahwa ternyata ia ditipu dan penipunya adalah Pak lik Badrun ayahnya Markum sahabatnya.

 “Tega sekali.” Pikir Hanafi. Dengan geram ia menuju rumah pak Badrun dan mengetuk pintunya dengan keras. 

“Pak lik….., Pak lik Badrun….buka pintunya. Saya mau bicara.”Teriaknya seperti orang kesetanan. 

Pak Badrun yang sedang memberi makan ayam-ayamnya terkejut sampai tumpah semua bekatul yang dibawanya. Bu Badrun yang kebetulan sedang membereskan ruang tengah seketika tergopoh-gopoh membukakan pintu, begitu pula Markum dan Nafsi yang terkejut mendengar teriakan Hanafi.

 “Ada apa, Nak?”Tanya bu Badrun mencoba tenang. 

Tapi betapa hancurnya ibu muda itu melihat wajah Hanafi yang merah menyala menahan marah, dengan air mata yang memenuhi seluruh wajahnya.

 “Kenapa Bu lik…..? Kenapa Pak lik melakukan ini pada saya. Apa salah saya sehingga Pak lik begitu keji menipu saya.”Begitu teriak Hanafi pada Bu Badrun. 

Markum naik pitam. Ia tidak terima ibu dan bapaknya dicela oleh anak yang selama ini selalu dibantu keluarganya. 

“He Hanafi….jaga mulutmu kalau bicara pada orang tua.”Kata Markum kasar. 

“Orang tua? Jangan ikut campur Markum, kau tidak tahu apa yang mereka lakukan padaku, atau kau sebenarnya tahu lalu berpura-pura baik padaku. Sama seperti mereka. Kenapa ? Karena aku miskin? Karena selama ini kau pikir semua bisa dibeli dengan uang?” Sahut hanafi tidak kalah keras.

 “Sabar, Nak. Kau ini sedang bicara apa?” Kata Bu Badrun sambil berusaha memeluk Hanafi, namun Hanafi memberontak dan melemparkan Koran itu dihadapan pak Badrun yang baru saja tiba untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Pak Badrun memungut Koran itu dan membaca setiap kalimat yang tertulis di sana. Tangannya bergetar, air matanya jatuh dan lututnya tak kuasa menyangga beban dihatinya, ia pun berlutut di hadapan Hanafi.

 “Iya, Nak. Pak lik bersalah padamu. Pak lik mengakui semua tuduhanmu. Orang tua ini memang menipumu, Nak. “Katanya. 

“Bapak!” Teriak Markum sambil mencoba menahan agar ayahnya tidak berlutut di depan Hanafi.  Pak Badrun melarang Markum dan memberi isyarat agar Markum diam. 

“Tega sekali. Berapa banyak lurah itu membayar Pak lik, sehingga Pak lik begitu keji terhadap saya. Orang tua terkutuk!” Kata Hanafi 

“Tidak sepeserpun, Hanafi. dan jaga mulutmu pada orang tua.”Jawab Hamzah. 

“Tapi orang tua ini sudah menikungku, menipuku. Bangsat kecil itu juga.” Kata Hanafi sambil menunjukan jarinya pada Markum. Hamzah menampar muka Hanafi. Hanafi terkejut

 “Mas!,” Hanafi terkejut melihat reaksi kakaknya

” Kau tidak tahu apa yang dilakukan Pak lik. Apakah hatimu sudah begitu buta sehingga tidak mengenali kebaikan orang lain.”teriak Hamzah.

 “ Sudah, cukup! Ibu Julaikah yang tiba-tiba datang melerai keduanya.”Hanafi jangan lakukan ini pada Pak lik Badrun. 

PakLurah mengancam akan memberhentikannya jika ia tidak menghalangimu pergi ke Kabupaten saat itu. Pak lik Badrun tidak menerima uang sepeserpun dari Pak Lurah, semuanya diberikan kepadamu bukan dengan maksud menipu bahkan Pak likmupun siap jika harus melepaskan pekerjaannya untukmu tapi ibu dan masmu Hamzah yang melarangnya.,”kata Bu Julaikah sambil menangis,

 “ Jadi….kalian semua tahu tentang semua ini. Kalian bersekongkol untuk mencurangi aku. Kalian semua jahat. “ jerit Hanafi. Ia membuang muka kemudian berlari menjauh,

”Hanafiii…” teriak Hamzah. Hamzah ingin mengejarnya tapi ibunya menghentikannya sambil menggeleng perlahan.

 

Selama sehari semalam Hanafi tidak pulang kerumah ibu dan adeknya mengkhawatirkan namun ibunya tetap melarang Hamzah untuk mencarinya.

” Sudah biarkan saja dulu. Ia sedang marah dan hatinya juga sedang terluka itu kesalahan kita karena tidak jujur padanya. Tapi jika dia sudah siap untuk pulang ia akan pulang begitu kata ibunya setiap kali Hamzah atau Hizam menawarkan diri untuk mencari Hanafi, baru menjelang maghrib keesokan harinya Hanafi pulang dengan mukayang kusut tak seorangpun berani menyapanya.Hanafipun langsung menuju kekamar mandi membersihkan tubuhnya dengan air dan sabun.

Rasanya segar sekali lalu ia mengambil air wudhu mengenakan sarung dan kemejanya terbaik lalu iapun sholat. Saat bersujud tak ingin rasanya Ia menegakkan dirinya menyerahkan, seluruh beban dihatinya kepada Sang Pemberi hidup. Ia seolah ingin mengadukan semua perkaranya dan akhirnya ia terduduk sambil melantunkan doanya. Hamzah menyingkap tirai kamarnya dan melihat adiknya dalam kesunyian yang khusuk Hamzah menghela nafas panjang didalam hatinya dengan berat.

” Akhirnya kau pulang. Maafkan aku, Nif.,”

 

Setelah sholat Hanafi menjatuhkan dirinya ditempat tidur. Kasur tua itu terasa keras meskipun bersih dan berbau wangi karena rupanya selama ia pergi ibunya telah merapikannya untuknya.  Hanafi memejamkan matanya airmatanya jatuh perlahan, menghangat diantara pipinya. Ia menahan isyaknya tapi tak kuasa membendung air matanya sebuah sentuhan lembut menyentuh telapak kakinya sentuhan yang sangat ia kenal. Sentuhan yang selalu ia dapatkan ketika ia kecewa,

”Nif.” Panggilan itu begitu mesra ditelinganya begitu akrab menyentuh sanubarinya.

 “Kau pasti belum makankan? Makanlah dulu. Tadi mbak membawakanmu pindang ikan dan soto kesukaanmu mbak juga membawakan lanting dan sambal sudah sana makanlah dulu. Kecewa boleh, sedihpun tak ada yang melarang asalkan jangan terlalu lama. Kautidak perlu kecil hati. Orang itu bisa saja menang darimu tetapi itu bukan kemenangan yang sebenarnya. Ia menghalangimu untuk pergi, artinya ia takut kepadamu artinya ia tidak bisa menghadapimu maka ia menggunakan orang lain untuk melawanmu jangan menyalahkan Pak lik Badrun ia dan engkau hanyalah korban. Jadi kau harus bangkit untuk membuktikan bahwa kau lebih mampu daripada Teja.” Kata Raudah kakak perempuannya. 

Hanafi bangkit dari tempat tidur dan memeluk kakaknya. Ia menagis sejadi-jadinya dipelukan kakaknya entah kenapa hanya kepada Raudah ia bisa jujur menumpahkan seluruh perasaannya ia bahkan melebihi ibu dan sahabatnya.  Raudah mengusap air mata adiknya dan mencium keningnya seakan ingin menyedot seluruh rasa sakitnya. Raudah kemudian bangkit dan menyodorkan sepiring nasi bersama semua yang disukai Hanafi yang telah dimasak dengan tangannya sendiri. Hanafi tersenyum. ia bersyukur bahwa ia memiliki Raudah seseorang yang tak akan menikungnya dari belakang.



 

 

 

 

 


                                                                            BAB III
                                                                    RUMAH HANTU

 

Pagi-pagi sekali Hanafi mengeluarkan sepedanya. Ia bermaksud mengantar Koran sebelum sekolah di mulai. Segala lukanya coba ia tepis, apalagi saat ia melihat Markum berdiri diujung jalan. Kakaknya benar, tidak seharusnya ia menyalahkan orang yang selama ini telah begitu mendukungnya. Hanafi perlahan mendekati  Markum, ia mengulurkan tangannya tanda meminta maaf. Tapi Markum hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Tiba-tiba Markum memeluk Hanafi erat.

”Maafkan Bapak dan ibuku, Nif. Mereka hanya tidak berdaya melawan pak Lurah.”Katanya diantara tangisnya. Hanafi membalas erat pelukan Markum 

“Tak apa, Kum. Aku sangat mengerti keadaan Pak lik dan Bu lik Badrun. Akulah yang harus minta maaf karena telah bersikap kurang ajar.” Sahut Hanafi. 

Merekapun saling bermaafan dan Hanafipun menawarkan tumpangan buat Markum jika ia mau ikut mengantar Koran dulu sebelum masuk sekolah. Markum gembira sekali. Ia pun membonceng sepeda Hanafi. Perjalanannya ke sekolah ia jalani dengan lebih bahagia karena ia mendapatkan kembali sahabatnya.

 

Sepulang sekolah Markum kembali membonceng sepeda Hanafi namun naas di tengah jalan, ban sepeda Hanafi kempes. Markum dan Hanafi terpaksa mendorongnya . Di tengah matahari yang terik menyengat, keringat mereka berdua bercucuran.  Mereka mendorong pelan diantara jalanan berbatu yang cukup menyakitkan. Tiba-tiba seseorang dengan sepeda warna biru mengkilat bikinan Belanda melintas sambil melontarkan ejekan.

“Wah pecundang lagi nuntun sepeda butut hasil nyrobot kemenenangan orang lain!” Seru orang itu. Markum mendongak kesal. Ia melihat wajah Teja tersenyum sinis dengan bibir yang terangkat sedikit. Wajah priyayi yang jadi kebanggan keluarganya itu nampak begitu angkuh. Markum naik pitam. 

“Siapa yang nyrobot?”Sahut Markum kesal. “Dasar tukang suap. Omongan aja gedhe, tapi nyali seupil.” Katanya lagi. 

Hanafi mengepalkan tangannya menahan amarahnya. Ia masih ingat betul pesan kakaknya agar tidak terlibat konflik lagi dengan orang-orang yang tidak penting.  Teja marah dan meludah jijik. Markum yang sudah termakan panas teriknya siang tak mampu menahan luapan kekesalannya ia langsung menubruk Teja dengan kasar. Perkelahian tak terhindarkan. Meskipun Markum masih lebih kecil dari Teja, ia bukanlah seorang penakut.  Ia tidak terima sahabatnya diejek apalagi ia tahu bahwa Tejalah yang curang dalam perlombaan itu. Mereka saling tindih dan saling pukul. Hanafi yang tercengang melihat reaksi sahabatnya sejenak tertegun, namun menyadari bahwa Markum takan menang melawan Teja yang bertubuh lebih besar, Hanafi melerai keduanya dengan menarik baju Markum. Namun Teja memaksa untuk kembali memukul Markum. Hanafi akhirnya terpaksa mendaratkan tangannya yang sudah mengepal ke wajah Teja dan hasilnya hidung Teja berdarah. Teja mengerang kesakitan dan sambil menahan darah di hidungnya iapun kabur dengan membawa sepedanya.

 

Hanafi kemudian menolong Markum yang sempat terjatuh saat ia menarik bajunya tadi. 

“Kau tidak apa-apa?”tanyanya pada Markum. Markum menggeleng sambil mengelap darah di sudut bibirnya.

 “Mampus dia sekarang, Nif. Dia pikir kita takut padanya.”Jawab Markum. Hanafi cuma tersenyum kecut. Ia sudah dapat membayangkan masalah apa yang akan dihadapinya setelah ini. 

“Ayo kita pulang. Lain kali abaikan saja dia. Kalau wajahmu lebam begini, bagaimana akau mengatakannya pada bulik nanti.”Jawab Hanafi dengan raut sedih. Markum cemberut.

 “Aku hanya tak ingin dia menyakitimu, Nif.”Kata Markum berusaha membela diri. Hanafi mengangguk. Perlahan ia menuntun sepedanya. Sesampainya di rumah Markum tidak bercerita pada orang tuanya kalau ia berkelahi dengan putra pak Lurah. Ia hanya mengatakan kalau lebam di wajahnya karena ia jatuh dari sepeda. Hanafi sendiri tidak berani menghadapi orang tua Markum karena ia tahu bahwa masalah akan datang lagi pada mereka.

 

Kali ini dugaan Hanafi tidak meleset. Pak Lurah menyuruh centeng-centengnya mengobrak-abrik rumah Hanafi, memaksa Hanafi dan keluarganya keluar dari desa mereka dengan tuduhan membuat onar. Pak Badrun tidak berhasil meredakan kemarahan mereka dan malam itu juga mereka harus keluar dari desa itu. Hamzah kesal sekali dan ingin menghajar Hanafi kalau saja tidak dicegah oleh Julaikah ibu mereka dan Hizam.

 

Ditengah gerimis mereka harus berjalan membawa barang-barang mereka yang tak seberapa. Anun yang sakit harus dipapah oleh Hamzah dan ibu mereka, sementara Salma tak berhenti menangis. 

“Kemana kita akan pergi, Zah? Aku tak mau kalau harus menumpang di rumah Raudah kakakmu. Suaminya akan marah kalau kita semua ke sana.”Tanya Julaikah pada Hamzah.

 “Tanya saja pada anak kesayangan ibu. Bukankah dia penyebab semua ini terjadi? Kalau saja ia mau memakai otaknya sedikit. Mungkin malam ini kita masih tidur di bawah atap. Tidak kehujanan, kelaparan dan kedinginan seperti  sekarang.”Jawab Hamzah pedas. 

Hanafi Cuma tertunduk. Hatinya perih. Mungkin memang menjadi miskin adalah kutukan, jangankan melawan nasib, melawan orang yang berkuasa saja sudah pasti menghasilkan penderitaan. Sejak saat itu Hanafi berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi orang yang berkuasa, sehingga ia bisa menukar nasibnya yang malang ini dengan kekuatan untuk melawan siapapun yang ia inginkan.

 

Mereka berhenti di pasar dekat kecamatan yang jauh dari desa.  Anun kelelahan, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya menggigil kedinginan. Hamzah mencoba membujuk ibunya untuk pergi ke rumah kakak perempuannya untuk sementara waktu sampai mereka mendapatkan kontrakan. Tapi Julaikah tetap menolak. Hanafi berpikir keras, ia merogoh kantongnya. Uang yang dari pak Lurah itu masih tersisa cukup lumayan, dan karena ia menyimpannya ditempat yang baik, centeng-centeng pak Lurah tak dapat menemukan dan mengambilnya. Hanafi tersenyum kecil. 

“Bu, boleh aku pergi sebentar mencari makanan buat Anun. Kurasa ia lapar. Tempat ini tidak jauh dari tempat mas Anwar, mungkin ia bisa menolong kita, Bu.”Kata Hanafi. Julaikah sedikit bingung namun ia ingat pada Anwar pemilik kios buku dipasar itu, dimana Hanafi sering membantunya. Julaikah mengangguk. 

Hanafi berlari cepat ke rumah Anwar yang letaknya tidak jauh dari pasar. Ia memohon pada Anwar untuk dicarikan tempat untuk tinggal sementara karena adiknya sakit keras. Anwar berpikir keras, karena tak mungkin mencari kontrakan pada malam seperti itu. Anwar hanya punya pilihan sebuah rumah tua yang telah ditinggalkan pamannya. Rumah itu tidak terurus dan dalam keadaan rusak. Namun ada beberapa kamar yang masih bisa ditempati. Paman Anwar sudah lama meninggal tanpa memiliki keluarga. Hanya Anwarlah satu-satunya keluarganya, oleh karena itu ketika pamannya meninggal, rumah itu dikuasakan kepadanya. Pada mulanya Anwar mengontrakan rumah itu pada orang lain,  karena Anwar dan istrinya telah memiliki rumah peninggalan orang tua Anwar. Hanya tidak ada yang betah tinggal dirumah itu karena katanya angker dan penuh hantu. Hanafi cukup galau mendengar hal itu, namun ia tak bisa membiarkan keluarganya tinggal dibawah kolong langit dengan curahan hujan yang semakin deras. Hanafi akhirnya setuju dengan tawaran Anwar, apalagi Anwar tidak mematok harga mahal untuk rumah tua itu. Hanafi berpikir lebih baik berperang dengan hantu daripada tidur dipeluk hujan.

 

Setelah memberikan sejumlah uang, Hanafi berlari  menemui ibunya. Ia mengajak ibu dan saudara-saudaranya ke rumah itu. Cukup seram, karena kondisinya masih gelap.  Namun Anwar cukup baik untuk memberikan pinjaman sebuah petromaks untuk penerangan. Kali ini Hamzah tak lagi mengomel, ia bahkan menawarkan bantuan pada Hanafi esok untuk menambal bagian rumah yang bolong dan bocor.Setidaknya malam ini mereka memiliki tempat untuk beristirahat. Hanafi dan Hizam membantu Anun berbaring dibalai-balai besar yang hanya dilapisi tikar, karena semua kasur mereka basah terkena hujan. Hanafi dan Hizam juga harus merelakan sarungnya untuk melapisi balai-balai itu supaya agak terasa lunak bagi Anun. Sedangkan Salma yang kelelahan berjalan, tertidur di bangku panjang ruang tengah. Tak ada lantai keramik atau semen.  Semuanya tanah. Dindingnya terbuat dari kayu gebyog kuna dengan ukiran jepara yang cukup baik. Hanafi beruntung bahwa pemiliknya meninggalkan sebagian perabot yang masih bisa mereka pakai. Satu balai-balai besar untuk tidur Anun dan ibunya. Dua bangku panjang yang bisa dipakai tidur maupun duduk dan sebuah dipan kayu yang bisa menampung 3 orang.

 

Malam itu semua tidur nyenyak meskipun dalam kondisi perut yang kosong. Lelah, letih dan galau telah menghabiskan energy mereka untuk bisa merasakan nyanyian  di perut masing-masing dan seribu hantu yang dikatakan Anwar bahkan  tak mampu mengusik suara bising dengkuran mereka semua.

 

Hanafi yang paling dulu bangun karena ia merasa  bertanggung jawab atas kejadian itu. Ia pergi ke sungai dan mencari apa saja yang bisa dijadikan lauk. Pakis, genjer, lompong, kangkung, semua cukup untuk membuat perut mereka terganjal. Ia hanya harus membeli beras, dan minyak.  Sementara Hizam adiknya telah ia serahi tugas untuk mencari kayu bakar. Dalam hati Hanafi bersyukur bahwa negeri ini sangat kaya bagi mereka yang mau berusaha. Ia seakan berhadapan dengan supermarket yang luas sekali tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam. Hanya berbekal senar kecil, jarum bekas mesin jahit yang dibengkokkan milik kakaknya dan cacing yang ia peroleh dibelakang rumahnya dulu, ia berhasil menangkap beberapa ekor ikan dan tiga ekor belut besar. Tidak terlalu sulit baginya, karena anak-anak miskin sepertinya sudah terbiasa hidup dari kedermawanan yang diberikan alam. Saat ia mendaki pinggiran sungai yang agak terjal, ia melihat Anwar berdiri di atas bedeng pembatas sungai sambil melambaikan tangan. Rupanya ia ingin memberitahu Hanafi bahwa ada orang yang mencarinya.Hanafi bergegas merapikan alat pancing,dan semua bahan makanan yang diperolehnya di sungai. Ia kemudian mendaki ke atas bedeng. Di sana ia melihat Markum dengan muka sembab. Sepertinya ia menangis semalaman sampai matanya bengkak. Sebenarnya Hanafi enggan bertemu dengannya tapi melihat wajah Markum ia merasa tidak tega.

 

Anwar mempertemukan mereka berdua karena tadinya Markum tidak tahu ke mana Hanafi dan keluarganya pergi.  Hanya karena kebetulan Anwar melihat Markum yang bingung dan sedih saat melewati kiosnya, Anwar lalu menyapa dan menanyainya. Anwar mengenal Markum karena Hanafi sering mengajaknya mampir ke kios bukunya untuk membeli majalah bekas yang bisa dijangkau Hanafi dengan uang sakunya. 

“Kok kamu nggak ke sekolah? Bukannya hari ini kamu ada ulangan?” sapa Hanafi. Markum menggeleng

.”Kamu juga nggak sekolah kan?”Markum  ganti bertanya.

 “Aku tidak bisa masuk hari ini. Aku kan harus mencari rumah baru. Untung ada mas Anwar. Aku ngontrak di sana, di deket balai Kecamatan, selatan Pasar. Kau mau ikut aku pulang?” Tanya Hanafi. Markum mengangguk. Anwar tersenyum

 “Dah, nggak usah nangis lagi. Sekarang udah ketemu ta. Jadi jangan nangis lagi. Berkelahi berani. Kenapa kehilangan Hanafi mewek.”ledek Anwar. Markum tersenyum kecut.

 “Nif, aku ke kios dulu ya. Nanti kalau ada apa-apa, jangan lupa bilang . Oh ya, kamar di selatan itu adalah perpustakaan Pak likku. Masih terkunci. Semalam aku lupa memberikan kuncinya karena tergesa-gesa. Ini kuncinya. Siapa tahu bermanfaat buatmu. Kau boleh baca, tapi jangan dirusakan bukunya dan jangan diloakkan.”kata Anwar sambil memberikan kunci pada Hanafi. 

Mata Hanafi seketika berbinar. Rumah Hantu itu ternyata ada perpustakaannya. Hanafi langsung berlari sambil menyeret tangan Markum yang terengah-engah mengikutinya.

 

Sesampainya di rumah, Hanafi memberikan semua yang di dapatnya di sungai pada ibunya. Begitu juga Markum yang ternyata membawa minyak, beras, bumbu, garam dan telur, buah tangan dari ibunya yang mengkuatirkan keluarga Hanafi. Markum juga berhasil menyelamatkan empat ekor anak ayam Hanafi dan induknya saat preman-preman pak Lurah mengobrak-abrik kontrakannya yang dulu. Hanafi bersyukur bahwa harapan baru bisa kembali di bangun. Sementara Hanafi memasukan ayam-ayam itu ke kotak kayu bekas sebelum kandangnya di buat, ia melihat Hizam dan Hamzah tengah memperbaiki beberapa dinding kayu yang bolong dengan menambalnya. Sepertinya Hamzah merelakan uang yang niatnya ditabung untuk melanjutkan sekolahnya untuk membeli kayu lapis dan pernis.

 

Kasur-kasur juga sudah dijemur, begitupun dengan selimut yang sudah dicuci bersih serta digelantang di bawah terik matahari. Hanafi hanya berharap, siang ini hujan tidak turun, kasur, selimut dan bantal akan  kering sempurna,sehingga nanti malam Hanafi sudah bisa bernafas lega. Setidaknya Anun tidak akan kedinginan lagi.Hanafi kemudian mengajak Markum masuk menuju ruangan yang diceritakan  Anwar, pelan ia membuka pintunya dan menyalakan lampu minyak gantung yang antik. Sepertinya itu satu-satunya ruangan yang diberi lampu. Hanafi matanya terbuka dan mulutnya ternganga. Ada ratusan buku di sana yang disusun dalam rak-rak besi yang kuat, sebuah meja besar dan kursi berukir. Hanafi penasaran, siapakah paman Anwar ini sehingga rumah tuanya yang angker menyimpan harta yang bahkan tak pernah dibayangkan Hanafi. Sebagian besar memang berbahasa asing, namun tidak sedikit yang berbahasa Melayu lama, Jawa dan bahasa Indonesia. Beberapa surat dan kertas-kertas masih utuh tertinggal di atas meja persis seperti ketika ditinggalkan pemiliknya. Dari surat-surat itu Hanafi kemudian tahu bahwa paman Anwar adalah mantan seorang asisten wedana. Hanafi berkeliling dan menemukan sebuah jendela yang lama tidak dibuka. Iapun  membukanya pelan-pelan sekali dan begitu terbuka sinar matahari langsung masuk menyergap ruangan itu menjadi terang. Hanafi menyipitkan matanya karena silau. Saat matanya sudah bisa menyesuaikan dengan keadaan ia melihat pemandangan yang luar biasa. Ia langsung bersujud syukur dan berterima kasih pada Allah yang memberikan kelegaan ditengah-tengah kesempitannya. Dari jendela itu Hanafi bisa melihat pemandangan indah sungai dan ngarai yang dipisahkan oleh kebun yang sangat luas. Perpustakaan itu letaknya memang di belakang rumah. Ada halaman kecil yang bisa dijadikan tempat bersantai atau menanam bunga-bungaan meskipun hal itu memerlukan kerja keras untuk menghalau alang-alang dan rumput liar yang sudah meninggi. Hanafi sungguh tak mengira, bahwa terusir dari gudang sempit keluarga Markum menuntunnya pada surga yang bahkan tak pernah dibayangkannya. Ia juga tidak mengerti mengapa Anwar justru memilih tinggal di rumah keluarganya sekarang daripada menempati rumah bekas milik asisten wedana yang cukup bagus bahkan mewah bagi Hanafi itu.

 

Hanafi kemudian asyik membersihkan tempat itu bahkan mengklaim tempat itu sebagai kamarnya yang tentu langsung disetujui oleh saudara-saudaranya yang lain karena memang ia berhak mendapatkan lebih. Dengan uang Hanafilah mereka bisa tinggal ditempat itu. Ibu Hanafi juga tidak mengira bahwa setelah pagi memancarkan cahayanya, rumah yang gelap, seram dan angker  semalam ternyata cukup indah bahkan mewah. Mereka semua tidak mengira akan mendapatkan pertolongan yang luar biasa. Balai-balai  yang tadinya kotor dan tidak terawat, di tangan Hamzah yang terampil menjadi kelihatan seperti baru. Apalagi saat Raudah datang membawa bantalan2 kursi berenda yang dibuatnya dari perca atau sisa kain pelanggannya. Rumah itu terlihat apik, rapi dan menyenangkan. Bangku-bangku di pelitur kembali sehingga layak untuk dilihat. Markum juga ikut membersihkan rumah itu, dengan uang jajannya ia bahkan membeli semir lantai lalu memoles ubinnya hingga mengilat dan licin.

 

Tepat sebelum dzuhur, semua pekerjaan selesai. Hamzah, Hanafi, Hizam dan Markum membaringkan diri di lantai menghilangkan sisa penat setelah  membersihkan rumah. Lantai itu terasa dingin dan menyejukan, membuat mata mereka menggelayut berat, namun  bau ikan yang dibakar, sayur lompong pedas dan sambel welut membuat perut mereka berteriak-teriak minta di isi. Mata yang tadinya sudah hampir terpejam tiba-tiba terbuka lebar untuk melihat apa yang tersaji di tikar teras samping rumah. Ibu Hanafi, Raudah dan Salma telah menyiapkan nasi, sayur lompong pedas kesukaan Hamzah, sambel welut kesukaan Hanafi dan ikan bakar favorit semua orang termasuk Markum. Tak ada yang bisa membuat ikan bakar seenak ibu Hanafi, begitu katanya selalu. Semua orang makan dengan gembira. Mata Hanafi berkaca-kaca seakan tak percaya bahwa hanya dengan menjentikan jari Tuhan mampu mengubah takdirnya.

 



 

Impian yang mengapung dalam, terasa begitu menyesakan dada. Hantu asisten wedana Harjoseputro seperti melayang di sudut-sudut mewah selnya. Hanafi menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan secara bergantian seolah hendak mengusir bayangan itu dari wajahnya., tetapi semua sia-sia, sampai bau ikan bakar dan sambel welut bikinan ibunya membangunkannya. Namun tak ada satupun yang ditemui selain kesunyian. Lorong selnya begitu gelap karena waktu telah menunjukan lewat tengah malam. Hanafi mengerjap pelan. Seharusnya saat ini ia berada di tengah-tengah keluarganya jika saja lidah ajaibnya tidak bergoyang terlalu jauh. Tapi keyakinannya pada kebenaran pribadinya masih enggan tunduk sehingga jauh dari rasa syukur kanak-kanaknya dulu dimana ia berterima kasih pada tiap nikmat yang ia rasakan, maka saat ini ia menjerit, menggugat untuk menyuarakan ketidakpuasannya pada Yang Kuasa. Hanya sedikit kendali akal warasnya yang tersisa saat kerakusan akan kuasa menguasainya.

 

Untuk beberapa saat Hanafi merasa takut jika ajalnya sudah mendekat, denyut jantungnya seakan melambat tak berirama dan kepalanya terasa berputar melayang. Ia tidak mengerti mengapa wajah-wajah itu menghantuinya. Sinar biru diujung lorong seperti menekannya. Wajah pak Lurah yang dibencinya,wajah hantu asisten wedana Hardjoseputro yang sering dilihatnya menyelinap diantara buku-buku di kamarnya saat remajanya dulu, wajah almarhum ibunya seperti memanggil-manggil dalam suara-suara getaran dan frekwensi yang aneh. Hanafi ketakutan tapi tidak berdaya. Ia berteriak-teriak memanggil sipir penjara, namun yang dipanggil mungkin juga sudah terlelap. Hanafi menekuk lututnya seakan hendak menyerah sesuatu yang tidak pernah dilakukannya.



 

Arum nampak baru saja keluar dari sebuah café di mana ia biasa bertemu kawan-kawannya. Ia menggunakan setelan berwarna kuning terang dari bahan sutra yang mengilat.  Perhiasannya tampak mencolok dengan warna bajunya. Hal itu tentu saja mengundang banyak mata untuk memperhatikannya. Memang itulah tujuannya, supaya ia menjadi pusat perhatian. Tubuhnya memang molek, meskipun wajahnya tidak terlalu cantik. Arum memang dikenal sebagai bagian dari sosialita kota yang terkenal. Pesta di café-café adalah rutinitas hariannya tak terkecuali malam ini. Apalagi ia tahu bahwa pesta kali ini akan dihadiri oleh para pengacara top negeri ini, ia takan melewatkannya karena berharap bertemu yang terhebat untuk menolong ayahnya. Ia tahu bahwa menyewa pengacara bukan hal yang sulit tetapi membuat pengacara itu mau melakukan apa saja dibutuhkan suatu metode pendekatan yang khusus.

 

Arum telah menetapkan hatinya pada pengacara muda yang sedang naik daun bernama Hans Patria. Pengacara muda yang tampan, sedikit licik dan suka uang. Sifat yang kurang lebih sama dengannya. Tetapi mendekatinya bukanlah hal yang mudah. Hans juga gila popularitas sehingga kasus yang ditanganinya haruslah kasus besar yang mendongkrak namanya. Ia bahkan rela tidak dibayar asalkan semua TV meliputnya. Arum sedikit cemas jika Hans tidak mau menangani kasus ayahnya, karena meskipun nama ayahnya sudah melegenda di dunia perpolitikan, seiring dengan hujatan-hujatannya pada penguasa akhir-akhir ini telah meredupkan namanya dan membuat orang enggan untuk terlibat dengan keluarganya selain soal uang. Tetapi bukan Arum namanya jika tidak mencoba setiap strategi dan kemungkinan yang bisa dilakukan.

 

Arum menghabiskan waktunya sepanjang malam untuk bisa mengobrol dengan Hans dan hasilnya sepertinya bagus. Hans menganggap kasus ini bisa diblow up lebih jauh agar upaya Arum melepaskan ayahnya dari jerat hukum sekaligus menjadi pukulan bagi penguasa saat ini supaya jatuh. Arum gembira mendengar perkataan orang itu, sehingga ia tidak merasa sayang untuk menuliskan angka dengan sembilan nol  di atas ceknya sebagai pengikat dan pembuka harga jasa yang akan diperolehnya.

 

Senyumnya cerah sekali saat Hans menjabat tangannya dengan erat untuk mengesahkan kerja sama mereka. Sungguh permainan yang menyenangkan bagi Arum. “Ini saatnya pembalasan”begitulah pikirannya. Oleh karena itu ketika pesta usai dan semua orang pulang, ia masih meluangkan waktunya untuk Hans agar tujuan yang diharapkannya benar-benar terlaksana. Arum baru pulang beberapa jam kemudian.

 

Ia melangkah santai menuju parkiran tanpa menyadari ada enam orang pemuda berusaha menyergapnya.Saat itu waktu memang telah sangat larut kalau bisa dikatakan hampir pagi. Seorang pemuda membekap mulutnya dari belakang sementara yang lain berusaha merampas tas dan perhiasannya.  Arum meronta sekuat tenaga dan itu membuat penyergapnya makin ketat memeganginya.  Beberapa bahkan memukul wajah Arum dengan keras. Inspektur Polisi Krish yang kebetulan melintas tempat itu saat pulang dari bertugas segera menepikan kendaraannya.  Ia menghardik para penyerang itu yang balik mencoba menyerang Krish. Baku hantampun tak terhindarkan dan membuat Krish memutuskan untuk merebut Arum kemudian lari karena Krish kalah jumlah dan posisi itu membahayakan bagi mereka berdua. Namun Arum meronta saat Krish berhasil mendapatkannya, mungkin itu reflek pertahanan diri Arum karena ia tidak sadar dan panic bahwa Krish sedang berusaha menolongnya. Akhirnya dengan sedikit memaksa, Krish berhasil membawa Arum pergi.

 

Ia memasukan Arum  ke mobilnya dan membawanya pergi.Para penyerang berusaha mengejar Krish, namun hanya sampai beberapa blok mereka menyerah.  Arum pingsan begitu masuk mobil. Dan Krish cukup kebingungan untuk membawanya ke mana. Tas berisi identitas  dan lain-lain  berhasil dirampas si perampok. Akhirnya setelah berpikir cukup lama Krish berpikir untuk membawanya ke apartementnya saja. Bukan hal yang bijak, Krish tahu. Tapi keadaannya cukup darurat. Untuk membawa ke rumah sakit Krish ragu-ragu, takut para penyergap menghadang mereka karena tahu bahwa mereka pasti akan menuju rumah sakit terdekat. Setelah menghubungi kantor mengenai upaya perampokan, Krish membopong tubuh Arum ke kamarnya.  Baju Arum sobek disana-sini sehingga memperlihatkan kemolekan tubuhnya. Krish tidak berani menyentuhnya atau membangunkannya. Ia memilih menunggu di ruangan lain, agar tidak terjadi kesalahpahaman.

 

Krish membersihkan luka diwajahnya di kamar mandi saat terdengar teriakan dari kamar di mana ia meninggalkan Arum. Krish bergegas menuju kamar. Ia melihat Arum sudah sadar dan terduduk. Wajahnya pucat.

 “Apa yang kau lakukan komandan?”Teriak Arum. “Kau melakukan yang tidak senonoh terhadapku?”tanyanya Krish. Krish terbengong.

 “Aku??” Krish berkata sambil menunjuk hidungnya tak percaya dengan yang di dengarnya. “Ya. Kau. Siapa lagi. Tega sekali kau menyuruh anak buahmu menculikku dan melakukan tindakan tak senonoh ini.” Jerit Arum histeris. Krish yang tadinya terbengong sekarang menjadi naik pitam. 

“Nona, jangan asal menuduh. Nona semalam di rampok. Saya menolong Nona.”Kata Krish kesal. 

“Klasik!”Jawab Arum. “Dari awal aku sudah tahu kalau pikiran anda kotor inspektur!”teriak Arum “Kalau kau tidak bermaksud jahat, bagaimana aku bisa ada diapartementmu?”Jeritnya. lagi.

“Begini saja, sekarang kau ganti bajumu yang robek dengan kemejaku di almari itu. Aku tidak tahu apakah celananya cukup, mungkin sedikit terlalu besar. Tapi itu masih lebih baik daripada kau telanjang. Lalu aku akan mengantarmu pulang. Jika aku tahu rumahmu, aku akan mengantarmu pulang saat itu juga.”JawabKrish tegas. Krish langsung keluar dari kamarnya dan menutup pintu 

“Aku akan menuntutmu!” terdengar teriakan  Arum dari dalam. Krish menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil menyeringai. 

“Dasar Bodoh.” Begitulah ia mengumpat pada dirinya sendiri.  Krish kesal pada dirinya sendiri karena tidak memperhitungkan bahwa situasinya jadi berbalik dimanfaatkan wanita ini untuk menyudutkannya. Selesai berpakaian Arum keluar dengan muka yang masih terlihat ketus.

 “Katakan padaku inspektur Krish, kau tidak mau mengantarku pulang hanya alasanmu untuk mencari-cari kesempatan kan?” Lanjut Arum. Krish berusaha  menahan kesabarannya. 

“Dengar nona, aku tahu itu tampak mustahil. Tapi penjahat-penjahat itu merampokmu, mengambil perhiasanmu, hp dan semua yang ada di dalam tasmu. Aku menolongmu dan parut dipipiku ini adalah hasil kejahatan mereka. Mestinya tadi malam kubiarkan saja, para perampok itu mengulitimu. Dan apakah kau merasa begitu terkenal dan terhormat sehingga setiap orang tahu rumahmu, begitu?”Tanya Krish. 

“Itu tidak sulit, kau tinggal googling dan…”  

“Dan membiarkan penjahat-penjahat itu menangkap kita lagi?”sahut Krish dengan muka memerah karena marah. Namun Arum tidak mundur selangkahpun. 

“Atau kau bisa membawaku ke rumah orangtuaku tuan Hanafi Arsyad bin Abdul Hamid.”teriak Arum dengan suara yang tidak kalah lantang.

“Yang sedang dipenjara itu?? Kau ingin aku membawamu kepada ibumu dalam kondisimu yang tidak pantas dilihat itu, pada jam 2 dini hari dimana seharusnya perempuan yang baik-baik sudah ada bersama keluarganya? Apakah aku harus memberikan satu penderitaan lagi pada satu wanita tua yang malang yang harus menghadapi kasus dugaan korupsi suaminya dan perampokan putrinya dini hari ini? Dia akan mati berdiri karena serangan jantung.”Seru Krish.

 “Wanita-wanita keluarga Arsyad adalah wanita-wanita pejuang….” 

“Simpan saja pidatomu untuk kampanye saat pemilu nanti. Aku tidak tertarik mendengarnya. Aku menunggumu di mobil karena dalam satu setengah jam lagi aku sudah harus tiba di kantor dan membuat laporan.”potong Krish lagi.

 Arum kesal sekali. Pria ini sungguh-sungguh sulit ditundukan. Arumpun menyusul Krish ke mobilnya dengan tergesa-gesa dank arena ia memakai celana panjang dan kemeja Krish yang sedikit kebesaran, ia menjadi canggung. Krish sudah duduk di belakang setir dan membukakan pintu mobilnya dari dalam. Kemudian dengan pandangan mata yang tajam ia berkata

 “Jika kau berisik. Aku tak segan menurunkanmu di pinggir jalan dan silahkan mencari taksi.” Arum mengernyitkan dahinya. 

“Apa kau sudah gila? Aku kan tidak punya uang.”Jawab Arum.

 “Bagus. Jadi tutuplah bibirmu itu rapat-rapat sampai kau tiba di rumah. Setelah itu kau boleh lakukan apa yang kau mau.”Kata Krish.

 

Krish menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi karena jalanan kota masih lengang. Kalau hari sudah lewat siang sedikit,  pasti mobilnya hanya akan bisa merayap. Dijalan menuju rumah Arum, Krish melihat pasar yang baru buka. Ia kemudian memarkirkan mobilnya 

“Apa yang mau kau lakukan?”Tanya Arum. Krish mengangkat bahu sambil menjawab 

“Apakah wanita-wanita Arsyad sepertimu semua? Kepo!”Katanya ketus. Arum cemberut dan dalam hati ia berkata

 “Awas kau!”  Krish menghilang dibalik kerumunan selama sepuluh menit.  Ia kembali ke mobil dengan membawa air mineral, roti dan seperti kain yang terbungkus plastik. Arum mengernyit curiga.  Krish menpuk kursi mobilnya 

“Hai wanita Arsyad, bisakah kau pergi ke toilet untuk mengganti kemejamu dengan ini. Ini pakaian wanita yang lebih cocok untukmu daripada kemeja itu. Lalu taruh kemeja dan celananya di dalam tas plastic ini. Kau tidak perlu repot mencucinya karena setelah ini aku bisa langsung membawanya ke laundry.”Kata Krish. 

“Kau pikir, aku mau memakai baju pasar yang murahan itu. Dengar ya inspektur, gajimu satu bulan takan cukup untuk membeli baju yang kupakai semalam.”kata Arum ketus.  Ia merasa nyaman dalam pakaian Krish yang kebesaran untuknya itu. Ia merasa seperti Krish sendiri memeluknya dalam wangi-wangian yang menempel di kain kemeja itu. Krish menggeleng keras.

 “Tidak….tidak. Aku meminjamkan bajuku, hanya supaya kau tidak terlihat telanjang di depanku. Tapi aku mau kau ganti baju itu dengan yang kubelikan supaya lidahmu tidak memutar balikan kebenaran karena baju itu. Setidaknya akau masih baik, mau membelikan ini.”kata Krish.

 Arum kesal dan dengan kasar menyahut tas plastic berisi baju itu.  Tak berapa lama Arum keluar dengan wajah cemberut. Krish tersenyum senang. Memang seharusnya terlihat seperti itu kualitas gadis yang sombong itu jika tidak berbalut kain dan fashion yang mahal. Hanya seorang perempuan biasa, tidak cantik dan tidak istimewa. Ia menyodorkan plastic berisi kemeja Krish dengan kesal.

 “Seleramu jelek, inspektur.”Katanya. 

Krish hanya mengangkat bahu dan menerima bajunya kembali. Krish pun masuk ke mobil dengan senyum kemenangan. Ia sebenarnya merasa iba dengan gadis itu, andaikata ia mau merubah sikapnya, mungkin ada sisi manis yang bisa diharapkan. Sayang karakter yang dibentuk keluarganya membuatnya sungguh-sungguh seperti putri abu yang kehilangan sihirnya.

 



Dhani yang duduk di ruang kerjanya menerima kedatangan Markum untuk mengkonsolidasikan apa yang harus dilakukan partai setelah Hanafi ditahan.  Ia menyerahkan file-file yang sekiranya berbahaya bagi Hanafi tanpa curiga padanya mengingat Markum adalah orang terdekat Hanafi selain keluarga intinya. Dhani juga memberitahukan pada Markum bahwa Arum telah menyewa Hans Patria untuk menjadi pembela Hanafi. Markum mengangguk senang. Saat Markum  sedang mengcopy file-file Hanafi dari laptop partai tiba-tiba sekelompok pemuda melongokan kepalanya ke ruangan Dhani. Dhani lalu meminta ijin untuk menemui mereka dulu di ruang sebelah. Markum sedikit curiga dengan apa yang mau mereka lakukan dan ketika Dhani pergi, ia mengikutinya pelan-pelan untuk mendengarkan percakapan mereka.

 

“Kau yakin sudah sesuai rencana?” tanya Dhani. Mereka mengangguk. 

“Ini perhiasan, HP dan tas Ibu Arum.” Kata salah satu dari pemuda yang belakangan diketahui Markum bernama Iksan. 

“Ibu Arum tidak terluka, kan?”tanya Dhani kuwatir. Iksan dan teman-temannya tersenyum.

 “Dewa penolongnya sudah menyelamatkannya, pak. Andai terluka, tidak terlalu parah pasti.”Jawab Iksan. 

“Baiklah. Ini uang kalian. Jangan sampai hal ini bocor ke orang lain ya?” kata Dhani. “Pasti, pak.”Jawab Iksan. Markum jantungnya hampir berhenti karena ia mengkuatirkan apa yang dilakukan Arum. “Anak itu makin mirip Hanafi saja.” begitu pikir Markum. Markum cepat-cepat kembali ke ruangan kerja Dhani. Ia kembali sibuk dengan file-filenya. Dhani masuk dengan hati riang. “Maaf, ada hal-hal yang harus saya selesaikan, jadi harus ke sana-sini. Sekali lagi maaf pak Markum.” Kata Dhani dengan sopan. “Ah, tak apa. Saat seperti ini segala urusan tiba-tiba pasti menjadi banyak dan rumit bukan. Itu sudah biasa. Di jaman Bapak dan Hanafi dulu keadaannya jauh lebih sulit dari ini.”Katanya.

 

Mata tua Markum menerawang jauh melintasi tembok-tembok waktu itu saat ia dan Hanafi muda ikut dalam pergerakan pemuda yang telah mulai melek politik. Masa itu Negara tengah dilanda kekacauan karena system demokrasi terpimpin yang dicanangkan president Sukarno saat itu. Ekonomi yang buruk dan pemberontakan atau gerakan separatism meletus dimana-mana. Harga-harga melonjak. Emas yang tadinya hanya berharga 2 rupiah satu gram, naik menjadi 4,5 rupiah. Nilai uang jatuh hampir 53%. Rakyat dan pemuda banyak yang turun ke jalan untuk berdemonstrasi menuntut penstabilan harga bahan-bahan pokok. Kemampuan Hanafi saat itu sudah sungguh terasah sehingga ia sering mengisi orasi-orasi pelajar dengan suaranya yang lantang. Ia menuntut hak-hak rakyat yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan. Rupanya perpustakaan paman Anwar telah menjadikan Hanafi muda semakin matang. Begitupun hantu asisten wedana yang ada di rumah tua itu seakan merasukinya sehingga semua paham dan isme-isme dunia coba dia cerna, pahami dan terapkan. Politisi-politisi klasik seperti cicero hingga abad pertengahan seperti Machiaveli menjadi favoritnya dan memenuhi hasrat kemudaannya yang bergelora.

 

Kemampuan Hanafi ini rupanya diperhatikan oleh salah seorang pembesar militer yang mengagumi bakatnya dalam berpidato. Ia merasa ingin bisa merekrut Hanafi menjadi salah satu kader mudanya yang berafiliasi dengan salah satu partai berbasis sosialisme religius. Kata sosialisme ini hanyalah kamuflase saja karena mengikuti manipol usdek yang sedang trend saat itu.  Selain untuk keamanan supaya tidak dimusuhi oleh pemerintah. Namun partai ini sebenarnya mengambil nafas yang lebih radikal, kelompok ini sebenarnya mendapat sokongan yang cukup kuat dari donator luar yang sangat kapitalistik. Hal ini sedikit bertentangan dengan Hamzah kakaknya yang lebih memilih aliran religious tradisional yang berangkat dari kearifan local. Dibandingkan Hanafi yang lantang menyuarakan pikirannya dipanggung-panggung politik terbuka. Hamzah lebih memilih untuk berjuang di kalangan para kyai dan santri di pengajian-pengajian. Maka popularitas Hanfai dan Hamzah berbeda jauh. Saat Hanafi mulai menginjakan kakinya di Sekolah Menengah Atas, namanya sudah cukup popular di kancah organisasi pemuda nasional. Sementara Hamzah hanya dikenal di kalangan para santri muda yang bergerak lebih ke dalam lapisan masyarakat terbawah.

 

Hanafi yang ambisius tentu saja tidak menolak ketika sang petinggi militer menariknya menjadi ketua kader laskar muda Indonesia di bawah afiliasi partai religius modern. Apalagi dengan janji bahwa jika suara partai dalam pemilu meningkat, petinggi tersebut akan memberikan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan Hanafi baik untuk pendidikan maupun untuk menunjang kehidupannya.  Maka tak heran jika sedikit demi sedikit banyak barang-barang baru nan mewah mengalir ke rumahnya. Hanafi adalah salah satu dari sedikit orang yang mampu membeli radio merk Galindra saat itu.

 

Markum menjadi orang pertama yang sangat shock melihat perubahan sahabatnya yang begitu pesat. Dari Hanafi yang sederhana, lugu dan rendah hati menjadi Hanafi yang modern, berpikiran maju meskipun sangat religious, gayanya juga berubah sedikit borjuis. Dulu ketika kecil Markum dan Hanafi senang menikmati mie pecel sebagai jajanan mereka, namun sejak pak jendral begitu mereka menyebut petinggi militer itu hadir di kehidupan Hanafi maka semua berubah. Jika Markum datang, ibu Hanafi biasa menyuguhkan makanan hasil masakannya tetapi sekarang ia akan menemukan sekaleng biscuit merk Huntley dan Palmer terhidang di meja dengan kopi sebagai teman. Markum juga melihat perubahan pada Salma, yang dulu sering berlarian di ladang dekat sawah  mencari buah lerak untuk mencuci. Sekarang  Salma sudah sangat modern dan mencuci dengan sabun cap Tangan yang ada berbatang-batang di sudut sumurnya. Tak jarang Ibu Hanafi membungkuskan beberapa untuk Markum bersama dengan susu beruang sebagai buah tangan untuk ibunya di rumah. Markum takjub akan perubahan itu tetapi juga bingung menghadapi sikap Hanafi yang menjadi sangat berbeda.

 

“Hanafi yang dulu sudah menghilang diantara debu-debu buku yang dibacanya.” Begitu Anwar sering mengomentarinya jika kebetulan Markum mampir ke kios buku dan majalahnya. Anwar sendiri usahanya semakin maju, namun sikapnya tak pernah berubah. Ia hanya sering merasa bahwa semakin lama Hanafi menjadi semakin mirip almarhum pamannya asisten wedana Hardjoseputro. Caranya bersikap, caranya bicara dan caranya berpikir. Apakah hantu rumah itu benar-benar sudah merasukinya atau memimpinnya menjadi borjuis baru ala priyayi. Pada Markum dan Anwar, Hanafi memang tidak berubah, tetapi pada keluarga dan orang-orang lain Hanafi seolah ingin menunjukan kelasnya. Hal itu yang sering membuat  Hanafi bersebrangan dengan Hamzah, sementara Hizam memilih bersikap netral.  Hanafi seolah menolak untuk diperlakukan sebagai keluarga miskin dan memang saat ini, ekonomi mereka berangsur membaik. Hanafi bahkan bisa membelikan perhiasan buat ibunya dan Salma dari uang yang diperoleh dari pak Jendral. Hanafi juga berhasil memberikan modal untuk ibunya dan Salma membuka usaha batik yang cukup besar.

 

Seperti siang itu waktu Markum diajak untuk menjenguk Raudah kakak Hanafi. Hanafi datang dengan pakaian yang perlente seolah hendak menunjukan pada ipar yang selalu menghinanya dulu bahwa ia datang bukan untuk minta belas kasihan. Ia datang untuk memberikan beberapa gram emas untuk kakaknya berupa gelang dan kalung dan sambil melirik abang iparnya ia berkata “Mbak, gelang dan kalung ini aku berikan untukmu sebagai tabunganmu dan anak-anak. Jangan dijual jika memang tidak perlu. Sesekali aku ingin membahagiakanmu karena selama ini tak ada yang bisa bukan? Oh ya aku juga membawa Kaos cap Haji duduk untuk mas Karsono, juga sarung untuk selalu mengingatkannya pergi ke surau kalau waktu sembahyang sudah datang. Supaya dia juga ingat kalau harus menjadi imammu ketika dulu ia memintamu pada kami.” Katanya tajam.  Raudah merasa tidak enak hati dengan kata-kata adiknya apalagi suaminya langsung membuang muka, tapi Hanafi tak peduli. Hanafi memberi tanda pada Markum supaya memberikan berkaleng-kaleng biscuit, alat kebersihan rumah tangga seperti pasta gigi merk odol yang terkenal kala itu, sabun mandi, shampoo, dan sikat gigi. Hanafi juga membelikan keponakannya susu, mentega, gula dan semua kebutuhan kakaknya. “Kenapa begitu banyak? Kalau punya uang, simpan saja untuk kebutuhanmu, untuk sekolahmu. Sebentar lagi kau akan kuliah, itu lebih penting.” Kata Raudah. Hanafi tertawa “Kakak, ini takan menutup hutangku kepadamu. Kau begitu banyakmemberi sehingga ada yang merasa bahwa kau adalah dinas social. Kita ini keluarga, jadi kumohon jangan dipikirkan lagi. Aku, Mas Hamzah dan Ibu baik-baik saja sekarang. Kau tak perlu mengkuatirkan kami lagi.”Katanya halus tapi menusuk. Bagi Markum semua yang dilakukan Hanafi terasa wajar karena dulu kakak iparnya senang menyakitinya dan itu caranya membalas pada kakak iparnya dengan menunjukan ketidak mampuannya sebagai laki-laki dihadapan kakaknya. Markum bahkan tidak sadar bahwa hal itu tentu juga akan melukai Raudah sebagai istri Karsono. Tetapi semua sudah terjadi saat itu, gigi berbablas gigi dan mata berbalas mata. Hanya Hanafi melakukannya dengan elegan.

 

Hal yang sama dilakukannya pada Teja yang hampir membuat hidup Hanafi porak poranda.  Saat ada pemilihan untuk menetapkan ketua himpunan pelajar sepropinsi, Teja mencalonkan diri. Kampanye dibuat untuk memenangkan dirinya. Hanafi hanyamengamati dari jauh dan mencatat setiap detail yang dilakukan Teja. Manuver politiknya, kekuatannya, pendukungnya semua diamati dengan seksama sampai Hanafi menemukan titik lemah Teja. Diam-diam Hanafi mendekati competitor Teja dan mendukungnya. Ia menyiapkan strategi kampanye yang lebih baik, menjadi orator atau juru kampanyenya dan yang paling lihai diatur oleh Hanafi adalah menyebarkan daftar hitam kelakuan Teja. Ia menyebut ini strategi black campaign. Semua kesalahan dan kelemahan Teja dibuka dihadapan public secara gamblang. Bukan fitnah namun suatu kenyataan memalukan yang dibongkar dihadapan banyak orang.  Teja terkejut dengan strategi Hanafi itu dan tak mampu melawannya sehingga rivalnyalah yang duduk sebagai ketua himpunan pelajar sepropinsi dan sebagai kontra prestasi Hanafi akan mendapatkan suara untuk partainya ketika pemilu nanti. Markum saat itu memuji kecerdikan Hanafi tanpa paham jika akhirnya kelicikan-kelicikan itu meracuni jiwa hanafi karena akhirnya bukan tujuan politiklah yang diharapkannya namun kepuasaan untuk memenuhi dahaganya pada kekuasaan.

 

Markum menghela nafas panjang. Meskipun terkesan terlambat, tetapi ia harus bergerak untuk menghentikan Hanafi. Ia harus menyembuhkan sahabatnya itu dari racun kepahitan hati yang dipendamnya selama bertahun-tahun. Keinginannya yang tak tercapai sehingga menghilangkan nurani dan akal sehatnya. Ia takut bahwa Hanafi-hanafi muda akan bermunculan dan mengikuti langkahnya yang salah. Seperti pemuda dihadapannya yang satu ini sekarang, yang begitu mengagumi sepak terjang Hanafi tanpa berpikir dengan hati sehingga mengorbankan harga diri dan kebenaran sejati. Sungguh menyakitkan dan mengerikan jika negeri ini kaum mudanya diracuni dengan virus ambisi tak terkendali.

 



Teja duduk menatap jendela dihadapannya. Gedung berlantai 24 ini begitu tinggi sehingga ia mampu melihat suasana kota diantara gedung-gedung lain yang sama tinggi atau bahkan lebih tinggi. Seingat Teja saat pertama kali ia menjejakan kakinya di ibukota, tak banyak  gedung tinggi yang dibangun, hanya monument-monumen saja. Ia juga masih ingat bahwa tatkala itu Sukarno presiden pertama republik ini diwawancara oleh Cindy Adams seorang wartawati dari Amerika dan ditanya mengapa harus membangun banyak monument, Sukarno menjawab untuk menjaga dan mendidik mental bangsa ini.  Namun tengoklah beberapa dasawarsa setelah kepergian Sukarno, gedung-gedung pencakar langitlah yang makin meninggi di jalanan ibu kota dan monument-monumen itu hampir tidak terlihat lagi. Bangsa ini rupanya tak pernah mau belajar untuk menjaga mentalitas kebangsaannya namun lebih asyik membangun menara-menara babel yang melambangkan sukses material. Ideologi Sukarno mengenai spiritual bangsa toh akhirnya harus menyerah di bawah paham materialism kapitalistik yang membawa bangsa ini pada peradaban yang sangat berbeda. Ketika pada konsep awal Sukarno memberikan usulan mengenai dasar Negara yang berjumlah lima sama seperti rukun Islam  sebagai landasan spiritualitas bangsa dipadukan dengan aspek nasionalisme, bangsa ini telah melangkah jauh dari harapan menuju pemikiran-pemikiran yang lebih radikal Materialisme dalam bungkus spiritualisme radikal adalah pandangan yang banyak dianut akhir-akhir ini. Teja tidak menyalahkan situasi ini namun menyesalkan bahwa bangsa ini telah sedikit jauh melenceng dari harapan dan cita-cita kebangsaan mengenai membangun masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila. Dia sendiri menjadi salah satu yang tak berdaya dikancah pergulatan politik yang begitu keras apalagi di masa lalu, orang tuanya selalu diafiliasikan dengan dosa partai yang tak termaafkan. Beruntung baginya bahwa ia masih bisa bertahan dan menancapkan kukunya dikancah perpolitikan nasional. Harapannya hanya satu dalam meletakan cita-cita hidupnya di sisa umurnya yang mungkin sudah takan panjang lagi.

 

Budiman yang sedari tadi duduk terdiam di sampingnya kembali menawarkan kopi yang sudah mulai mendingin. Teja tersenyum, anak muda di sampingnya inilah sekarang menjadi masa depan penjaga ideologi yang diyakininya dan besar harapannya jika ia juga mampu menuntaskan luka masa lalunya. “Apakah file terbarunya sudah kau dapatkan?” tanyanya. “Ya, Pak. Tapi kita harus sangat hati-hati menggunakannya. Ini sekaligus untuk melindungi orang kita yang ada di dalam kubu mereka.” Jawab Budiman. “Tapi itu terlalu lama anak muda. Semakin cepat dituntaskan, akan semakin baik.” Sahut Teja sedikit bernafsu. “Maaf, pak. Ini bukan lagi soal personal head to head. Tetapi ada persoalan kebangsaan yang jauh lebih besar daripada hanya menghancurkan keluarga Hanafi Arsyad. Maaf bukan saya tidak mengerti dengan sakit hati dan luka bapak di masa lalu, tetapi jika hanya itu alasannya saya bahkan tak ingin ikut campur dalam persoalan ini. Namun saya setuju melakukan ini karena sepak terjang keluarga Arsyad memang sudah sampai tahapan yang membahayakan integritas dan persatuan bangsa.”Jawab Budiman tegas. Teja menatap Budiman tajam “Tapi kau tidak tahu apa yang dilakukan Hanafi padaku dan keluargaku! Ia membunuh ayah dan ibuku secara perlahan, ia merampas semua milikku” Katanya dengan suara yang diberi tekanan untuk memberikan diksi yang jelas pada BUdiman bahwa apa yang terjadi pada Hanafi saat ini adalah hal yang pantas diterimanya bahkan belum cukup jika tanpa menghancurkan keluarga Arsyad sepenuhnya.

 

Mata tua Teja mengawang jauh ke masa-masa saat Hanafi menikungnya dalam pemilihan Ketua organisasi pelajar propinsi. Waktu itu mereka masih sama-sama tinggal di Jogja dan bersekolah di sana meskipun SMAnya berbeda. Hanafi menjebaknya dalam pertarungan tak bermoral dan tidak fair. Hanafi mengumpankan seorang perempuan pekerja seks komersial padanya untuk memblow up sebuah kampanye hitam yang ditujukan padanya. Teja masih ingat benar, saat ia pulang dari rapat kader bersama Subro dengan sepeda di tengah hujan. Ia melihat seorang wanita muda juga tengah bersepeda menantang derasnya air tanpa mantel. Tiba-tiba sebuah mobil fiat keluaran tahun 1955 melaju kencang lalu mencipratkan air dan lumpur ke arah wanita itu hingga ia kehilangan keseimbangan kemudian jatuh. Teja buru-buru menolongnya, wanita itu tidak terluka namun kakinya terkilir dan stang sepedanya bengkok karena terjatuh. Teja menawarkan bantuan untuk mengantar wanita itu pulang. “Dik, kalau tidak keberatan saya bisa mengantar adik pulang.”katanya dengan suara yang lembut.”Tapi apa saya tidak merepotkan, mas? Saya bisa panggil becak untuk pulang.”sahut wanita itu dengan suara lirih mendesah.”Ah, tidak. Lagipula pergelangan kaki adik kan terkilir. Kalau untuk mencari becak nanti tambah bengkak. Adik juga tidak membawa jas hujan. Mari saya bonceng, adik bisa ikut berlindung di bawah mantel saya. Tetap basah sih. Tapi setidaknya agak hangat.” Teja kembali membujuk. Wanita itu akhirnya luluh dan mau membonceng. Tangannya dilingkarkan dipinggang Teja dan itu membuat jantung Teja berdesir tak karuan. Selama ini tak pernah ia bersentuhan dengan wanita sedekat ini.

 

Ia meminta Subro membawa sepeda wanita yang diketahui bernama Sedah itu ke bengkel terdekat, sementara Teja memboncengkan Sedah pulang. Nanti setelah sepedanya rampung diperbaiki Subro akan mengantarkannya ke rumah perempuan itu. Perempuan itu rumahnya ternyata tidak jauh dari stasiun Lempuyangan, hanya di kampung belakangnya saja. Teja mengantarkannya hingga ke rumahnya yang ternyata hanya berbentuk seperti rumah petak. Karena hujan semakin deras, wanita itu menawarkan untuk berteduh. “Mari masuk, mas. Ini rumah saya. Hanya gubuk sih tapi setidaknya tak akan kehujanan seperti di luar. Berteduh saja dulu sampai hujannya reda. Saya akan buatkan kopi sekedar menghangatkan tubuh supaya tidak masuk angin.”kata Sedah dengan suaranya yang indah.  Teja tidak menolaknya, apalagi Sedah adalah nona rumah yang baik dan wajahnya sangat manis. Tak terpikirkan oleh Teja bahwa Sedah adalah seorang perempuan penjaja seks yang cukup di kenal di wilayah itu. Teja yang masih polos dan lugu tidak menyadari sedang dijerat, maklum meskipun putra seorang lurah, Teja tetaplah orang desa yang tidak paham geliat perkembangan  dan pergaulan di kota. Berbeda dengan Hanafi yang biasa ditempa kerasnya hidup dan bertahan di jalanan.

Sedah membuatkan kopi untuk penghilang dingin buat Teja. Harumnya memenuhi rumah petak yang sempit itu.”Ngomong-ngomong, adik tinggal disini dengan siapa?”tanyaTeja polos. “Ah, sendirian saja. Saya kan aslinya dari kampung, dari desa yang jauh. Saya di sini jadi pegawai toko untuk menghidupi diri saya sendiri dan kalau sedikit bisa menabung, bisa dikirim ke emak di kampong.”jawab Sedah berbohong. “Kenapa tak mencari suami atau pasangan hidup?”tanya Teja lagi. Sedah tersenyum. “Belum ada yang mau. Kalau mas mau, boleh jadi pasangan hidup.”katanya menggoda. Muka Teja langsung memerah seperti kepiting rebus. Teja yang belum berpengalaman langsung luluh dihadapan Sedah yang professional dalam tugasnya. Dengan naif, Teja berhasil dibujuk dan dirayu untuk bisa menghabiskan malamnya bersama Sedah. Akhirnya malam itu untuk pertama kalinya Teja merasakan bagaimana hebatnya menjadi seorang pria. Seluruh gelora laki-lakinya tertumpah bersama gairah perempuan muda yang manis itu. Lelah karena perjuangan yang panjang, seperti orang yang mabuk Teja tertidur di pelukan Sedah.

 

Pagi harinya saat kembali ke sekolah, semua mata menatapnya dengan pandangan aneh. Begitupun dengan Subro kawan baiknya yang tidak muncul juga sampai pagi ini. “Heh Subro, kemana saja semalam kutunggu tidak datang?”tanya Teja. “Eehhmmm, anu…anu Ja. Aku sedang sibuk je, Ja.” Jawab Subro terbata-bata dan berusaha menghindari Teja. Hal itu semakin membuat Teja penasaran dan bingung ada apa dengan orang-orang ini.

 

Teja shock begitu ia tahu, bahwa berita kejadian malamnya dengan perempuan itu muncul di Warta Pelajar, koran khusus yang diterbitkan oleh para pelajar sepropinsi. Reputasinya hancur, pemilihannya gagal karena ia dianggap tak memiliki moral dan integritas yang cukup.

Belakangan ia baru tahu jika Hanafi dan Subrolah yang justru merancangkan kehancurannya. Ia tahu saat di depan podium ketika berorasi dengan suaranya yang lantang untuk mendukung Muchsan, Hanafi selalu menyinggung masalah moral seorang pemimpin. Dalam orasinya Hanafi berkata  “Seorang yang tidak menghargai harkat kewanitaan tidak layak menjadi pemimpin karena sebuah bangsa yang hebat dilahirkan dari rahim wanita-wanita terhormat. Sementara pria hanya akan menabur pada tempat yang memang menjadi haknya bukan di gang-gang kosong atau rumah-rumah petak tempat mereka yang suka bersundal. Bangsa yang besar lahir dari wanita-wanita yang baik adabnya, pendidikannya dan moralitasnya.”Orasi itu dibuat sedemikian provokatif sehingga orang seolah merasa jijik melihat Teja. Hanafi begitu pandai menyentuh emosi pendengarnya dan seperti terhipnotis para wanita mengelu-elukannya seolah merasa di bela hak-haknya. Apa yang terjadi sesudahnya sungguh tak terlupakan. Para wanita yang marah itu melemparkan tomat dan telur busuk pada poster-poster Teja. Sementara Hanafi menebar senyum kemenangan atas Teja.

Teja marah, kesal dan benci pada Hanafi.Ia ingin menuntut Hanafi tetapi sayang ia tak punya bukti bahwa dirinya dijebak. Sementara Hanafi memiliki foto-fotonya dengan perempuan itu yang saat ini beredar luas di majalah-majalah. Teja juga tidak bisa mempermasalahkan isi orasi Hanafi karena meskipun penuh dengan sindiran, Hanafi tidak pernah menyebut namanya secara langsung. Hanafi pandai memainkan diksi, gaya bahasa dan tekanan-tekanan kalimat sehingga tanpa menyebut namapun orang sudah mampu menangkap tujuan orasinya. Gelombang kebencian tak terbendung sehingga Teja bahkan selama hampir  tiga bulan tidak berani memperlihatkan batang hidungnya. Teja juga berusaha mencari perempuan bernama Sedah itu untuk membuktikan kecurangan Hanafi tetapi ia menghilang bak ditelan bumi. Banyak yang bilang jika Sedah telah pindah ke kota lain dan berhenti menjadi pekerja seks komersial karena sudah banyak uang. Ada juga yang bilang dia hamil sehingga tidak melayani tamu lagi. Teja hanya berharap berita yang terakhir itu tidak benar.

 

Sampai di situ Teja masih memaklumi Hanafi karena mungkin ia masih sakit hati karena dulu ia menikungnya. Namun ia tak menyangka jika dendam Hanafi sepertinya tak pernah usai. Saat pemberontakan komunis meletus di tahun 1965 maka kondisi Negara saat itu seperti mimpi buruk. Hanafi sempat menghilang jauh sebelum peristiwa itu namun muncul kembali sudah sebagai pengajar di salah satu universitas ternama di Jogja. Teja baru tahu jika ia melanjutkan kuliahnya di Eropa atas biaya seseorang dan kembali sebagai dosen yang memiliki afiliasi politik kanan yang keras. Entah bagaimana Hanafi melakukannya namun di era pembersihan komunis, Hanafi termasuk yang membuat laporan kepada pemerintah orde baru saat itu untuk mengidentifikasi orang-orang yang terlibat dalam ideology komunis. Maka seperti mendapatkan kesempatan emas, Hanafi menaruh seluruh keluarga Wardoyo termasuk Teja terindikasi berafiliasi dengan PKI. Teja bingung dan tak mengerti saat semua bukti disodorkan padanya, padahal ia sama sekali tidak ikut-ikutan atauapun menjadi simpatisan PKI. Ia berusaha menjelaskan bahwa ia adalah seorang nasionalis bukan komunis. Tetapi yang didapat justru pukulan tamparan dan semua kekerasan keji yang lain.  Teja bahkan menunjukan bahwa ia adalah santri dari beberpa pondok pesantren tapi itupun tidak digubris juga. Maka seluruh keluarga Wardoyo terpisah-pisah, ada yang diganjar penjara Planthungan kabupaten Kendal dekat Semarang, ada pula yang harus dibuang di pulau Buru termasuk dirinya, dua orang adik laki-lakinya dan ayahnya.  Lurah Wardoyo ayahnya tak kuat menerima tempaan fisik dan mental yang masif diberikan dan dalam dua tahun masa pembuangannya ia meninggal karena beban fisik mental dan Malaria. Salah seorang adik laki-lakinya ditembak karena disangka ingin melarikan diri, sedangkan yang lain meninggal diserang buaya saat mandi di sungai.

 Teja begitu terpukul. Hatinya hancur, apalagi di penjara Planthungan ia juga mendengar ibunya meninggal bunuh diri karena tidak kuat dengan tekanan fisik dan mental, sedangkan adik perempuannya menjadi gila. Teja sama sekali tidak menyangka bahwa dendam masa kecil yang nampak tak berarti, bisa menghanguskan seluruh keluarganya. Hanafi benar-benar menggunakan api dendamnya itu untuk menghancurkannya.

 

Air mata jatuh dari pelupuk matanya yang sudah mulai mengabur.Budiman menepuk-nepuk punggung  tangan Teja. “Terkadang kita tidak menyadari bahwa sikap kita dan dosa social kita seringkali menciptakan monster yang bahkan lebih jahat dari yang kita bayangkan. Lomba pidato yang coba bapak menangkan itu seolah hanya menjadi kasus beli yang sederhana untuk merubah seorang Arsyad menjadi monster yang mengerikan, Pak. Bapak bisa belajar dari sejarah revolusi Perancis ketika seorang Maxmilien Robespierre yang jujur dan tahan suap, harapan masyarakat menuju Perancis yang lebih baik berubah menjadi monster haus darah yang siap mengirim orang ke tiang pancung hanya di picu masalah sepele yang menjadi dendamnya seumur hidup.” Kata Budiman menghibur. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti!” tanya Teja. “Robespierre adalah seorang politisi yang cemerlang pada masanya di era revolusi Perancis. Ia memiliki takdir yang hebat sama seperti Pak Hanafi Arsyad. Seorang orator dan pemikir ulung yang jujur. Saking jujurnya ia dijuluki incorupptible atau manusia yang tidak bisa di suap. Namun dalam perjalanan politiknya yang memperjuangkan virtue atau kebaikan itu,  ia malah menggunakan kekerasan untuk memaksa lawan-lawan politiknya menyerah. Ribuan orang dikirim ke tiang pancung saat tidak sepakat dengannya bahkan dengan tuduhan yang aneh-aneh, persis yang dilakukan Pak Hanafi pada Bapak. Ia bahkan juga mengirim Lousi XVI dan seluruh keluarganya untuk dieksekusi tidak terkecuali. Masalahnya sepele.  Saat Raja Louis XVI berkunjung ke sekolahnya di Louis-le Grand College setelah acara penobatan di Rheims, Robespierre mendapat tugas untuk membuat dan membacakan pidato pembukaan untuk Raja dalam bahasa latin. Robespierre berusaha setengah mati untuk itu, namun ia ternyata harus menunggu kereta Raja yang terlambat di tengah hujan dan usai pembacaan pidato itu, Raja bahkan tidak memberikan respon apa-apa, sekedar anggukan atau tepukan tangan. Karena Robespierre saat itu memang bukan siapa-siapa. Namun beberapa tahun kemudian, ditengah-tengah rapat besar revolusi Robespierre berpidato dengan lantang menuntut kematian Raja.” Budiman mengakhiri kisahnya dengan sebuah helaan nafas panjang. Teja tertunduk.  Budiman kembali menepuk lengan orang tua itu. “Tenanglah. Hanafi tetap akan membayar dosanya, bukan hanya pada bapak tetapi pada seluruh bangsa ini, dan saya memastikannya. Hanya kita perlu cara yang elegant dan invisible sehingga taka da monster baru yang akan bangkit untuk memerangi kita. Biarkan mereka saling menyerang dan membunuh diri mereka sendiri. Kita tak perlu mengotori tangan kita, pak Teja”Kata Budiman bijak.



 

Markum terkejut ketika melihat kabar di media social  facebook pagi ini yang memberitakan tentang percobaan pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap Arum Arsyad putri politisi Hanafi Arsyad.  Pelakunya diduga seorang penegak hukum. Peristiwa ini terjadi beberapa waktu lalu dan dibuat seolah peristiwa perampokan.  Ini membuktikan bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap keluarga Arsyad dan segala upaya hukum yang dilakukan oleh putrinya dicoba untuk dibungkam dengan ancaman kekerasan seksual. Markum memejamkan matanya dan menutup handphonenya. Markum bukan tidak percaya dengan apa yang menimpa Arum. Namun seperti film yang di daur ulang hanya beda pemain saja dan sedikit diubah jalan cerita dalam scenarionya. Markum hanya tak habis berpikir, bagaimana anak ini bisa memiliki pikiran yang sama persis dengan ayahnya.

 

Markum jadi teringat peristiwa saat Hanafi mulai menanjak dan memperoleh banyak teman selain dirinya. Hanafi  waktu itu mendekati Muchsan rival Teja dalam pemilihan Ketua Organisasi Pelajar Propinsi. Dalam suasana yang chaos banyak partai dan organisasi kepemudaan yang muncul dan organisasi ini dibentuk untuk mewadahi pelajar dari berbagai golongan agar memiliki satu suara yang sama dalam memberikan usulan pada pemerintah mengenai harapan para pelajar dan kaum muda umumnya. Kedudukan sebagai ketua ini merupakan kedudukan yang memiliki prestise karena akan disokong penuh sebagai wakil propinsi di pemerintahan pusat. Hanafi sendiri tidak terlalu tertarik untuk ikut dalam bursa pemilihan itu, karena para tokoh yang diajukan adalah mereka yang berbau ningrat atau setidaknya para amtenaren. Hanafi lebih tertarik menjadi pemimpin akar rumput dan organisasi partainya sekarang. Meskipun partainya sering disebut sebagai partai gurem jika harus bersaing dengan partai-partai besar saat itu seperti PNI, Masyumi, NU dan PKI, namun ia cukup puas, toh tugasnya hanya menggembosi suara dari partai-partai lawan yanglain untuk nantinya disatukan dengan induk partai afiliasinya. Saat itu ada sekitar 172 partai dan masing-masing partai memiliki afiliasi dengan organisasi-organisasi lain yang menyokong kegiatannya seperti PKI memiliki organisasi pemuda rakyat, gerwani, lekra, CGMI dan lain sebagainya. Sedangkan PNI memiliki GMNI dan NU memiliki Ansor, Hisbullah, Sabililah, PMII dan sebagainya. Hanafi lebih suka bermain diantara yang kecil-kecil dan mencoba menebar pengaruh. Musuh besarnya saat itu adalah komunis, maka tujuan gerakan bawah tanahnya adalah menghalau komunis apalagi pemesannya banyak dibiayai oleh kelompok tertentu dari Negara-negara kapitalis. Namun meski hanya bermain di lapisan bawah, ia cukup memiliki massa yang besar terutama di kalangan anak-anak muda sayap kanan. Keterlibatannya dalam bursa pemilihan ini hanya sebagai bonus pekerjaan sekaligus menyalurkan dendamnya pada rival masa kecilnya itu.

 

Berkali-kali Markum mengingatkan Hanafi, tetapi Hanafi telah membulatkan tekadnya. Ia menaruh Subro orang kepercayaannya untuk mendekati dan memantau  Teja, sedangkan Hanafi sendiri menyokong Muchsan. Subro sebenarnya adalah sahabat Teja, namun persahabatan mereka bisa dikatakan sangat rentan mengingat Teja memperlakukan Subro lebih seperti pembantunya daripada temannya. Sifatnya yang mata duwitan, dimanfaatkan Hanafi untuk memuluskan siasatnya. Sementara ia memperlakukan Subro seolah sebagai tangan kanan dan kepercayaannya. Janji-janjipun ia berikan jika Subro berhasil menjebak Teja. Markum sebenarnya tidak ingin ikut campur namun Hanafi selalu meyakinkannya “Kenapa kau tak mau membantuku, Kum? Kau lupa kalau dia yang mengancam keluarga kita, menyakiti kita dan menghancurkan keinginan-keinginan kita. Kau lupa bahwa karena kau mematahkan hidungnya dan dia melaporkan semuanya pada bapaknya. Aku dan keluargaku yang jadi korbannya.”begitu teriak Hanafi seperti orang kesetanan dan sekali lagi Markum merasa bersalah atas semuanya. Akhirnya Markum menyerah pada keinginan Hanafi. Semua rasa malu, sedih dan takut ia bawa ke daerah balokan di mana Hanafi menemui Sedah seorang primadona di daerah itu. Gadis itu nampak manis dengan balutan rok satin putih berenda buatan modiste terkenal saat itu.  Potongan V pada lehernya dibuat sedikit ke bawah diantara belahan dadanya sehingga setiap orang bisa mengintip sedikit kekayaan yang dianugerahkan alam padanya. Markum merasa malu, karena seumur hidup yang dilihatnya adalah wanita-wanita yang berkebaya panjang ala Kartini, berbaju kurung atau apabila memakai gaunpun, seluruh tubuhnya akan tertutup rapat. Namun Hanafi sepertinya tidak canggung. Ia menyodorkan 50 rupiah sebagai pembuka dan apabila pekerjaan Sedah berhasil, Hanafi akan memberikan 100 rupiah lagi. Harga yang takan ditolak oleh wanita-wanita Balokan, mengingat harga emas saat itu hanya 4,5 rupiah. Jadi jasa wanita itu dihargai 33 gram lebih emas semalam.

Hanafi keluar dari tempat itu dengan perasaan lega bahwa dendamnya akan segera terbayar lunas. Sementara Markum masih seperti lutung yang kebingungan menghadapi perempuan-perempuan etalase bergincu dan berbedak tebal. “Nif, kok  kamu bisa datang ke tempat seperti ini sih?  Najis . Dilarang oleh agama.” Kata Markum begitu keluar dari surga kernikmatan itu. “Kau harus membedakan mana strategi politik dan kehidupan agama. Asal kita tidak melakukannya kan beres. Aku tidak canggung karena banyak pejabat sering minta dicarikan perempuan dank arena aku bekerja pada mereka ya aku carikan. Sebagian dari sini sebagian lagi dari tempat lain. Aku cuma mencarikan. Memberikan rezeki pada yang membutuhkan, tapi aku sendiri tidak mau memakai mereka. Tidak….tidak akan pernah.” Jawab Hanafi. Markum ternganga antara takjub dan bingung dengan jalan pikiran keagamaan Hanafi., karena setahu Markum sewaktu ia ikut mengaji, menjebak orang baik dalam kemudharatan itu tetaplah berdosa meskipun dirinya sendiri tidak melakukan.Tapi Markum enggan berdebat dengan Hanafi.

 

Ternyata siasat Hanafi memang manjur. Teja berhasil dijebak dan reputasinya hancur. Markum kembali bernafas dalam. “Siasat ini sepertinya yang coba dikloning Arum.”Begitu pikir Markum. “Penegak hukum?? Siapa yang coba dia jebak kali ini. Polisi? Adrian KPK? Atau……,haaahhh pusing aku memikirkan keluarga ruwet ini. Tetapi ini pasti ada hubungannya dengan Iksan tempo hari. Yah…..itu pasti. Hanya aku belum tahu persis korelasinya. Aku akan mencari informasi pada Dhani, dia pasti tau rencana busuk Arum. Sepertinya link yang digunakan dan alamat group FBnya juga milik orang-orangnya.” Pikiran Markum mulai bekerja. Markum segera beranjak dari ruang tengah rumahnya dan menuju garasi mobilnya. Ia memerlukan banyak informasi tambahan.



 

Krish sedang makan siang bersama Adrian di sebuah café setelah berkoordinasi mengenai beberapa hal yang menyangkut operasi tangkap tangan para anggota legislatif akhir-akhir ini. Mereka terlibat dalam beberapa pembicaraan yangsangat serius ketika Hans Patria datang.  Ia memperkenalkan diri pada Krish dan Adrian sebagai kuasa hukum Hanafi dan Arum Arsyad. “Seharusnya anda menemui saya di kantor. Apa anda sudah lupa tata cara, adab dan etika sebagai lawyer?” Tanya Krish. “Saya datang sebenarnya bukan sebagai kuasa hukum saat ini, tapi sebagai teman karena bu Arumpun ingin saya menjembatani dulu masalah ini.” Kata Hans ramah tipikal pengacara. “Masalah apa?” tanya Krish. “Masalah penganiayaan dan pelecehan seksual, Inspektur” Jawab Hans. “Apa?”  reaksi Krish terkejut dan setengah ingin tertawa. “Ini serius, pak. Bu Arum akan mengajukan tuntutan karena anda telah melakukan pelecehan seksual dan penganiayaan, pak.”Kata Hans menegaskan.

 

Di saat yang sama Adrian seperti teringat sesuatu, “Oh ya Krish, itu benar. Aku lupa memberitahumu. Beritanya sudah viral di medsos. Bahkan ada video kejadiannya, beredar  di beberapa WA group.” Seru Adrian sambil menyodorkan smartphonenya. Krish meraih smartphone itu dengan pandangan kesal pada Hans. Setelah melihat Video yang sudah di edit di sana sini, wajah Krish memerah padam menahan marah.Video itu memang seolah dibuat seakan justru Krish yang menarik paksa Arum menuju mobilnya dan membawanya ke kamar tidur  apartemennya. Krish benar-benar naik pitam. Ia mulai berdiri dan menghampiri Hans. Hans mundur beberapa langkah, bagaimanapun yang dihadapinya adalah seorang inspektur polisi yang terlatih. Adrian ikut berdiri untuk mencegah Krish bertindak terlalu jauh dan memperkeruh suasana, karena sepertinya itu tujuan Hans. “Krish, sabar.”Ujarnya lirih. Adrian tahu betul watak Krish jika sudah marah, tak peduli apapun akan dihajarnya.

 

Pada waktu yang sama berita TV yang ada di cafepun  mulai memberitakan hal itu “ Nona Arum Arsyad, putri seorang politisi terkemuka negeri ini mendapat perlakuan tidak senonoh dari seorang aparat keamanan di sebuah café di bilangan Bulungan. Tindakan ini sepertinya adalah suatu bentuk tekanan politik agar Nona Arum Arsyad menghentikan usahanya membela kasus ayahnya dan menyuarakan kebenaran. Inilah pernyataan Nona Arum  Arsyad seusai melakukan visum di rumah sakit.” Begitu isi berita yang disusul wajah lebam Arum dan tangisan buayanya “Benar. Saya diseret, di tampar, dipukul hingga pingsan setelah itu saya dilecehkan. Semua buktinya ada di visum et repertum itu. Saya tak menyangka bahwa aparat yang seharusnya melindungi rakyat justru menganiaya.”katanya dengan terisak-isak. Krish memejamkan matanya dan mengepalkan jari jemarinya menahan seluruh emosinya. Dan dengan senyum pahit ia mengatakan lirih pada Hans “Jika aku yang menampar dan memukulnya. Sekarang ini dia sudah tidak bernyawa  untuk bisa membuat wawancara bodoh ini. Dia dirampok malam itu dan aku menolongnya.” Hans tertawa “Semua tertuduh akan membela dirinya inspektur. Nona Arum akan menuntut anda, kecuali….” “Kecuali apa?” potong Krish. “ Kecuali kita bisa membahas sebuah kesepakatan.”Kata Hans. “Ah, itu menarik. Boleh. Krish akan membuat kesepakatan dengan nona Arum. Sebutkan saja waktunya.” Sahut Adrian. Krish dan Hans memandang Adrian dengan wajah serta ekspressi yang berbeda. Hans yang menyadari jika Adrian adalah salah satu komisioner KPK langsung menyahut. “Aku hanya bercanda. Sampai bertemu di pengadilan inspektur.” Kata Hans sambil ngeloyor pergi.  “Dri, apa yang kau lakukan!” kata Krish sambil mendorong sejawatnya itu. “Woi, sabar woi. Kalau kau tangkap itu pointnya tuan cyber crime. Nona Arum ingin membuat kesepakatan. Kau ahlinya, jangan lewatkan detailnya karena aku yakin pengacara itu tidak sedang bercanda. Kau harus merekam semuanya sebagai bukti untukmu sendiri.”Kata Adrian. Krish mengangguk. “Kita kembali pada jargon kita saja.”lanjut Adrian. “Tidak ada kejahatan yang sempurna.”sahut mereka berdua bersamaan sambil bersulang minuman . “Bodoh pertama, kalau bukan dia merencanakan menjebakmu bagaimana dia mendapatkan detail adegan mu memperkosanya. Bodoh kedua mengapa mereka memainkan media social dan bukannya melapor pada yang berwajib. Bodoh yang ketiga mengajakmu bersepakat. Apa aku benar tuan cyber?” tanya Adrian. Krish mengangguk sambil tertawa pahit. “Kau benar. Besok aku promosikan kau masuk devisi cyber, oke?” katanya. Adrian tersenyum. Sambil mengangkat gelasnya yang berisi es teh itu. “Tapi kau harus hati-hati, mungkin episode selanjutnya adalah jatahmu, karena kau yang menahan papa tersayangnya.” Lanjut Krish. Adrian menepuk pundak Krish “Kurasa untuk sementara ia sedang asyik denganmu kucing besar.  Jadi aku bisa berpikir tenang untuk menangkap dua belut licin lainnya.” Kata Adrian senang.



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

SANG JENDRAL

Arman begitu gelisah dengan pemberitaan yang menimpa adiknya.  Ia menghubungi Aminah, Aisyah dan Arfa untuk memberikan dukungan moril kepada  Arum. Mereka kemudian tampil bersama  dalam sebuah konfrensi pers untuk memberikan pernyataan dukungan pada Arum dan mengecam pemerintahan karena dianggap tidak mampu melindungi harkat dan martabat wanita. Hanya Aisyah yang tak banyak bicara. Tetapi Aminah dan Arman menggebu-gebu membangkitkan kebencian masyarakat pada ketidak becusan pemerintah menjaga keamanan.

Tampilnya seluruh keluarga Arsyad juga diikuti oleh semua elemen partai dan koalisi pendukungnya. Jadi seolah sekali tepuk mereka mendapatkan dua keuntungan. Konfrensi pers akan menyenangkan mereka para pencari berita yang haus akan sensasi dengan demikian mereka bisa mendapatkan start untuk kampanye terselubung gratis sambil memetakan kekuatan koalisi bahwa partai-partai yang bersimpati bisa berpotensi menjadi pendukungnya di pemilu kelak. Selain itu mereka bisa mengeluarkan kritikan tajam dan menggalang mosi tidak percaya pada kredibilitas pemerintah dalam menjaga stabilitas keamanan.

 

“Klasik!’ begitu kata Hamzah sambil mematikan televisi yang ditontonnya. “Kenapa, mas? Kok dimatikan TVnya. Memang beritanya apa?”tanya Haznah istrinya sambil memberikan kopi panas pada suaminya. “Haahhhmm.” Hamzah mengambil nafas panjang seolah enggan mengomentari apa yang dilihatnya. “Biasa….another drama.”Katanya. Haznah tersenyum “Jangan begitu, mas. Bagaimanapun Arum itu masih keponakan kita. Seharusnya mas prihatin dengan kondisinya sekarang.” Sahut istrinya lembut. “Haznah….Haznah….apa kamu itu tidak hafal dengan kelakuan ponakanmu yang lebay itu. Dia itu pemain watak, sulit dipercaya, pembohong besar.”katanya dengan raut muka sedih. “Malu aku, Nah.”lanjutnya lagi. “Janganlah berprasangka buruk. Siapa tahu kali ini beritanya benar. Menuduh aparat itu bukan masalah yang ringan lho, mas.”Haznah masih membela keponakan suaminya itu dengan lirih karena ia tahu jika watak suaminya yang keras dan sedikit kasar. “Nah, aku mengenal bocah-bocah itu. Tidak beda jauh dengan bapaknya. Arogan, sombong, menang sendiri dan terlalu suka memikirkan dirinya saja. Kau kenal Hanafi berapa lama? Aku mengenalnya seumur hidupku.”Sahut Hamzah. “Hanafi itu adikku, sudah tentu aku menyayanginya tapi sifat keras kepalanya itu sering membuat aku jadi lepas kendali. Ia tak pernah berpikir orang lain apalagi kok orang-orang yang dekat padanya. Kau tahu begitu sayangnya Mbak Raudah padanya, tapi tetep aja dia suka menyakitinya.” Jawab Hamzah. “Mungkin karena Kang Karso dulu suka menghina dan menyakitinya, jadi Hanafi sedikit nyinyir kalau di depannya.”Haznah masih tetap membela. “Benar Kang Karso almarhum  memang begitu orangnya, tapi setidaknya Hanafi mau memikirkan perasaan Mbak Raudah jika ia nyinyir dengan Kang Karso. Bagaimanapun buruknya laki-laki itu tetaplah suami kakaknya.”Jawab Hamzah. Haznah cuma terdiam, karena bahkan Hamzahpun mencurigai Hanafilah dibalik kematian mandor gula itu di mesin penggilingan. “Apa menurutmu Hanafi sejahat itu ta, mas?” Haznah bicara lirih sekana pertanyaan itu hanya diajukan pada dirinya sendiri. “Dia tidak jahat tadinya, tapi pendendam dan selalu ingin menunjukan bahwa ia mampu mengontrol siapapun yang dia mau. Itulah penyakitnya yang membuatnya akhirnya melangkah terlalu jauh.” Jawab Hamzah. Haznah sampai kaget karena ternyata suaminya mendengar pertanyaannya.

 

Hamzah melihat perubahan besar dalam diri Hanafi sejak malam ketika penyakit Anun kambuh. Hanafi bingung dan panik,begitu pula ibunya. Kejadiannya memang tidak lama setelah mereka terusir dari rumah  keluarga Markum. Kepanikan ibunya pada penyakit Anun membuatnya secara tidak sengaja ia menyalahkan Hanafi yang membiarkan Anun kehujanan, kedinginan dan kelaparan saat mereka baru pindah. Sebenarnya Hamzah tahu bahwa cepat atau lambat penyakit Anun akan semakin memburuk. Kondisi mereka yang miskin hingga tidak bisa membawa Anun ke rumah sakit besar. Kurangnya makanan bergizi dan sanitasi yang buruk selama ini telah semakin memperparah sakit Anun. Hujan, dingin dan lapar hanyalah menjadi pencetus saja namun kondisinya memang sudah sangat buruk waktu itu. Akhirnya Hamzah dan Hanafi memutuskan untuk meminta bantuan pada Raudah, karena tabungan Hamzah sudah tidak cukup untuk membawa Anun ke rumah sakit. Sementara uang Hanafi habis untuk mengontrak rumah. Sialnya saat itu Karsono ada di rumah dan dalam kondisi mabuk. Alhasil bukan uang yang di dapat namun umpatan, makian, tamparan. Hamzah dan Hanafi tadinya mau melawan hanya mengingat Raudah baru saja melahirkan bayinya beberapa minggu, mereka memilih kabur.

 

Nyawa Anun tidak bisa diselamatkan pada malam itu. Dan seperti orang berzikir Julaikah tak hentinya menyalahkan Hanafi. Hamzah sudah berusaha untuk menghibur ibunya dan meminta agar Julaikah berhenti menyakiti Hanafi tapi usahanya gagal. Sehari setelah Anun dimakamkan, Julaikah jadi membenci Hanafi. Iapun dilarang masuk rumah. Ia hanya bisa tidur di teras depan seperti gembel. Berkali-kali Hamzah mengingatkan ibunya, namun kesedihan Julaikah lebih kuat dari nuraninya. Hamzah memang terkadang marah pada Hanafi, tapi ia tak pernah benar-benar membenci adiknya itu. Apalagi bagi Hamzah, Hanafi adalah anak yang istimewa dibandingkan dirinya dan Hizam.

 

Pagi itu ketika Hmazah membuka pintu rumah hendak memberi makan ayam, ia menemukan tubuh Hanafi membiru, tubuhnya menggigil kedinginan dan wajahnya pucat. Hamzah terkejut bukan main. Selama hidupnya ia tak pernah melihat Hanafi sakit . Baru kali ini ia melihat adiknya itu tumbang.  Hamzah mengangkat tubuh Hanafi dan terasa panas menyengat. Hamzah bermaksud membawa Hanafi ke kamarnya tetapi ibunya menghalanginya “Jangan bawa anak sial itu ke dalam rumah.”Katanya keras. Hamzah yang tak pernah menentang ibunya , kali ini marah besar.”Apa ibu ingin kehilangan seorang anak lagi? Kematian Anun tidak ada hubungannya dengan Hanafi, Bu. Itu sudah takdir Allah. Kalau bukan karena hujan, Anun juga akan pergi dan jika ternyata Anun meninggal karena kemiskinan kita, apa ibu akan menghukum diri ibu sendiri diluar sana?”Tanya Hamzah  keras. Julaikah meledak tangisnya. Hamzah tidak peduli. Nyawa Hanafi adalah yang terpenting baginya saat ini. “Uuugghh….sakit..!” rintih Hanafi “Mana yang sakit, Nif.”tanya Hamzah dengan membalurkan minyak tanah ke tubuh Hanafi sebagai penghilang dingin, karena minyak kayu putih terlalu mahal bagi mereka. Hanafi menunjuk perutnya. “Kau sudah makan?”Tanya Hamzah lagi. Hanafi mengangguk. “Makan apa?” Hamzah bertanya panic karena setahunya, ibunya melarang Hanafi menyentuh makanan apapun di rumah itu. Betapa terkejutnya Hamzah saat melihat jamur beracun di genggaman tangan Hanafi. Dengan sigap Hamzah membuang jamur itu. “Jangan makan lagi. Itu beracun,bodoh.” Kata Hamzah panic, kesal dan marah. “Aku lapaar, mas.” Jawab Hanafi ditengah gemletuk giginya. “Salma…Hizam..!”Teriak Hamzah. Mereka yang dipanggil segera datang. Salma langsung menangis melihat kondisi Hanafi. “Mas Hanif kenapa?” tanya Hizam. “Dia keracunan. Jaga dia. Aku akan mencari obat.” Jawab Hamzah. Hizam dan Salma mengangguk.

 

Hamzah pergi selama beberapa waktu dan pulang sambil membawa kelapa hijau dan obat-obatan tradisional penghalau racun yang pernah didapatkannya saat di pesantren beberapa waktu lalu. Ia juga memanggil ustadz  yang mengajarinya menggunakan obat-obatan itu. Bersama pak Ustadz, Hamzah berusaha menyelamatkan nyawa adiknya. Dan akhirnya Hanafi berhasil memuntahkan jamur beracun itu. Selama beberapa hari Hamzah, Hizam dan Salma bergantian menunggui Hanafi. Salma memasak bubur untuknya danHizam yang memandikannya,mengganti bajunya. Hampir dua minggu Hanafi tergolek tak berdaya dan baru pulih pada minggu ketiga. Ibunya mulai luluh ketika akhirnya Hanafi bangun. Tetapi hubungan diantara mereka sudah tak lagi sama. Hanafi sedikit membuat jarak dengan ibunya karena ia merasa bukanlah anak yang diinginkan lagi. Berkali-kali Hamzah mencoba membuka pikiran Hanafi bahwa ibunya sedang sedih dan terpukul saat itu, namun Hamzah seperti berbicara pada tembok. Hanafi lebih sering mengurung diri di kamarnya setiap selesai sekolah dan bekerja. Ia menghabiskan waktunya dengan buku dan jarang berinteraksi dengan keluarga lagi. Apabila  harus makan bersama ia memilih menghabiskan makananya di dalam kamar. Hamzah sedikit kesal tapi ia tak banyak bicara. Terkadang ia mendengar Hanafi bicara sendiri di kamar itu. Namun Hamzah masih mencoba berpikir sehat bahwa kemungkinan adiknya sedang berlatih pidato.

 

Hanya saja dalam pidatonya yang panjang Hamzah seperti mendengar Hanafi menyebut nama asisten wedana Hardjoseputro. Hamzah agak curiga bahwa Hanfi tidak berlatih pidato tetapi berbicara dengan roh orang mati. Diam-diam Hamzah mencari tahu siapakah asisten wedana ini, dan dari beberapa buku, cerita tetangga bahkan Anwar,  ia tahu kalau paman Anwar ini dulu adalah seorang asisten wedana yang cerdas dan dihormati di daerah Jawa Timur meskipun ia memiliki rumah di Jogja karena saudara-saudaranya termasuk ayah Anwar ada di Jogja, namun sayang ia terlibat dalam pemberontakan PKI  Muso di Madiun. Akhirnya ia kehilangan jabatannya, mencoba menghilangkan diri di Jogja dan meninggal dalam kondisi yang buruk. Konon hantunya masih sering menganggu penghuni rumah.

 

Hamzah jadi sedikit takut kalau adiknya kerasukan. Maka suatu kali ia menegur Hanafi karena di mejanya berserakan buku-buku politik kiri atau komunis seperti karya Hegel, Engels dan Marx. Hamzah menegur Hanafi dengan berkata “Orang tua kita dilahirkan beragama. Kita terkadang juga nyantri kalau pas libur sekolah. Kau tahu kan kalau ajaran-ajaran seperti ini dilarang oleh agama kita. Sekedar tahu boleh. Tapi jangan mengimaninya.” Hanafi mengangguk dan akhirnya buku-buku itu sudah tidak terlihat lagi. Hanafi justru tampak sebaliknya makin khusyuk beribadah dan mulai banyak membaca buku-buku dan organisasi keagamaan. Bersamaan dengan itu, ia selalu melatih pidato-pidatonya di depan kaca. Gayanya yang lama sudah ditinggalkan dan ia makin matang dalam mengolah setiap kalimatnya.

 

Hamzah senang dengan perubahan itu namun Hanafi tetap menutup dirinya dari keluarga dan berjalan dengan relnya sendiri. Suatu kali Hanafi kedatangan tamu seorang yang berpangkat tinggi di militer yang meminta Hanafi menjadi ghost writernya, sekaligus menjadi jubirnya dalam partai politik binaannya. Hamzah yang mendengar pembicaraan mereka cukup hati-hati dalam bertimbang karena usianya memang sudah lebih matang dari Hanafi. Pergaulannya dengan santri-santri di pondok, telah membuatnya melek politik dan mulai memilah mana yang baik untuk diikuti dan mana yang tidak. Pak Jendral ini, begitu mereka menyebutnya adalah orang beraliran ekstrim kanan dan sedikit radikal. Kritiknya pada pemerintah keras, tajam serta berbahaya  sehingga Hamzah selalu mengambil jarak. Namun pandangan-pandangannya sepertinya cocok bagi Hanafi sehingga tanpa waktu yang lama mereka menjadi cocok satu sama lain, apalagi pak Jendral begitu murah hati menggelontorkan uang bagi keluarga mereka. Hamzah tak berani mengingatkan adiknya karena tak mau dituduh iri dengan kesuksesannya. Apalagi saat hanafi diangkat sebagai pengurus partai.  Selain itu Hamzah menilai Hanafi sudah cukup dewasa untuk mengambil jalannya sendiri. Usianya hampir 19 tahun waktu itu.

 

Hamzah menjadi sangat terbiasa dengan kedatangan pak jendral dengan semua barang-barang asingnya mengingat donasi partai mereka mendapatkan sokongan besar dari luar negeri. Namun Hamzah tidak menyepakati tindakan-tindakan tertentu yang melibatkannya dalam konspirasi bersama adiknya. Hamzah memilih menjadi orang luar dalam hal ini. Suatu ketika pak jendral bertandang ke rumah dengan sebuah pesawat radio yang tak banyak dimiliki orang. Hamzah jika ingin mendengar siaran berita harus lari ke rumah pak kyai dan mendengarkan bersama santri yang lain. Namun sejak radio merk Galindra itu ada di rumah ia tak perlu lari-lari lagi.

 

Pagi itu Salma sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga saat Hizam memutar radionya dan ajaib, mereka mendengarkan Hanafi tengah berpidato di radio. Salma sempat berteriak pada Hamzah yang sedang sibuk memperbaiki tempat gantungan batik di halaman belakang. “Mas,..mas Hamzah!! Ini lho dengerin mas Hanafi pidato di RRI. Ayo mas cepet.”Kata Salma. Hamzah buru-buru masuk dan mulai mendengarkan.  Ia berorasi mengenai pentingnya perluasan otonomi daerah agar kesejahteraan rakyat lebih terjamin. Hanafi juga menyampaikan kritik tajam mengenai pelaksanaan konstitusi di negara ini masih belum seperti yang diharapkan.  Pidatonya cukup membakar semangat dan sedikit provokatif. Salma nampak bangga karena ia sama sekali tidak melek politik. Baginya Hanafi berpidato seperti pahlawan yang mau berangkat perang. “Wah suaranya mantep ya, mas.” Katanya pada Hamzah. “Gandem, bersemangat.Cocok kalau jadi pemimpin.”lanjut Salma. Hamzah melotot sambil meletakan jari telunjuknya di bibir supaya  Salma diam. Ia mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang dikatakan Hanafi. Penyampaiannya sangat sederhana namun sangat menusuk dan menyakitkan telinga mereka yang tak berpikiran sama. Saat itulah Hamzah tahu bahwa adiknya sedang dimanfaatkan oleh pak Jendral untuk menyampaikan ide-ide politiknya yang kadang bersebrangan dengan pemerintah. Namun ia sendiri tak berani menyuarakan sehingga meminjam pikiran, mulut dan kalimat-kalimat Hanafi. Sebagai seorang Soekarnois, Hamzah merasa adiknya melangkah terlalu jauh. Pidato yang menggugah itu ternyata menghasilkan simpatisan partai yang cukup banyak dan orang juga mulai tidak percaya pada pemerintahan yang ada. Sekali lagi Hamzah terdiam, karena setiap ia mau angkat bicara Hanafi sudah meletakan posisinya sebagai kepala keluarga dengan menyokong 100% kebutuhan keluarga.  

 

Hanafi bahkan menawarkan bea siswa pada Hamzah untuk masuk akademi di bidang teknologi kayu seperti cita-citanya. Namun Hmazah menolak dengan halus. Ia memilih menjadi juru tulis di Kelurahan, mengurusi pesantren dan memberikan pendidikan baca tulis alquran. Alasannya sederhana karena ia tak suka berpolitik dan karena ia tidak suka menentang pemerintahnya sendiri. Hanafi berkali-kali membujuknya untuk bergabung tapi jawaban Hamzah tetap sama. “Sudah. Kau saja yang berjuang. Nanti tidak ada yang mengurus ayam-ayammu ini. Ibu juga sudah semakin tua, kalau semua laki-laki di rumah ini pergi, siapa yang akan menjaganya ta, Nif. Pesanku, hati-hati kalau kau bicara di depan umum. Lidah memang tidak bertulang, tapi jika menjelekan orang dalam orasimu, bisa berbalik nanti pada diri sendiri.” Begitu selalu jawaban Hamzah. “Aaaahhh mas Hamzah selalu membela presiden yang sekarang sih. Dia itu sudah banyak melencengnya dari konstitusi, tidak bisa mensejahterakan rakyat. Tidak mengahrgai perempuan…” “Wis…wis, kamu orasi saja di lapangan atau alun-alun, aku mau ke Langgar, sebentar lagi Dzuhur.”Potong Hamzah sambil merapikan sarung dan kopiahnya lalu pergi. “Mas….”Teriak Hanafi. Tapi Hamzah tidak menggubrisnya. Ia hanya menggerutu dalam hati “Cah wingi sore wae kaya isa ngelun Jagat (Anak kemarin sore saja kok seperti bisa menelan dunia). Pintere dhewe, benere dhewe. (Sok pitar, sok paling benar)”

 

Bagi Hamzah dunianya akan sangat berbeda dengan Hanafi, ia lebih tertarik menekuni bidang keagamaan dan karena bantuan Kyai Basori pimpinan pondok di mana ia belajar, ia bisa melanjutkan SMAnya yang sempat tidak selesai kemudian pindah ke SPG sehingga ia berhasil menjadi guru Madrasah Tsanawiyah Negeri, tentu dengan bantuan Kyai Basori juga. Hamzah merasa aman bergaul dengan Kyai Basori karena hidupnya jauh dari politik praktis dan ambisi-ambisi lainnya. Kyai Basori hanya memfokuskan diri pada pendidikan agama dan akhlak para santrinya. Itu sebabnya pembawaan Hamzah jauh lebih lembut dan arif dibandingkan dengan Hanafi yang penuh gejolak. Dalam hal wanitapun Hamzah juga tak sepandai Hanafi, padahal dalam hal paras, Hamzah jauh lebih tampan daripada Hanafi. Tubuhnya juga jauh lebih bagus karena Hamzah berpostur tinggi dan sedikit kekar, berbeda dengan Hanafi yang kecil, langsing dan tidak terlalu tinggi. Hamzah mengenal wanita untuk pertama kalinya juga dibantu oleh kyai Basori. Ia menta’arufkan Hamzah dengan putri lurah Wardoyo kembang desa yang sangat catik bernama Rusmini. Ia sangat sering mengaji di pesantren Kyai Basori dan juga sering bertandang untuk shalawatan bersama-sama santri-santri putri yang lain.

 

Sekali Hamzah mengenalnya, Hamzah langsung jatuh hati. Suara lembut gadis itu ketika melakukan tilawah Quran begitu menyentuh sanubarinya. Begitupun dengan Rusmini, ia sangat menyukai Hamzah karena pribadinya yang baik, sopan santunnya dan karena ia seorang guru di MTsN.  Hamzah sama sekali tidak mengira bahwa gadis cantik pujaan hatinya ini adalah putri lurah yang pernah mengusir keluarganya beberapa tahun lalu dan adik Teja saingan adiknya dalam hal apapun. Saat akhirnya Hamzah tahu kenyataan itu, ia sempat membicarakannya dengan Kyai Basori. Tetapi Kyai Basori menjawab dengan arif, “Justru kau harus bisa merukunkan mereka semua. Bukankah itu baik?”tanyanya waktu itui dan dijawab dengan anggukan oleh Hamzah.

Hamzah tak mau tergesa-gesa mengabarkan soal hubungannya dengan Rusmini sampai segalanya menjadi lebih pasti nanti, apalagi ia tahu sekali watak Hanafi adiknya yang sulit dikendalikan apalagi menerima hal-hal seperti itu. Hamzah merasa harus sedikit memberi waktu untuk Hanafi agar bisa berlapang dada nantinya.

 

Suara Hanafi menjadi tak asing lagi di radio, semakin hari semakin pedas saja kritiknya. Presiden yang waktu kecil dia kagumi cara pidatonya, sekarang menjadi bulan-bulanan kritik dalam pidatonya. Bahkan tak jarang Hanafi menyerang langsung kebijakan-kebijakan presiden. Ia juga menyerang politis-politisi lain yang tak sejalan dengannya, kalau perlu sedikit memfitnahnya agar dalam perebutan kursi nanti mereka tidak mendapatkan suara yang cukup.  Hamzah prihatin dengan hal itu namun hanya bisa berdoa bahwa malaikat di sana akan menyentil kepala Hanafi agar sadar untuk tidak terlalu provokatif.

 

Saat pemberontakan PRRI  Permesta meletus, partai Hanafi kalang kabut karena berafiliasi dengan perwira-perwira pemberontak termasuk pak Jendral. Pak Jendral termasuk perwira-perwira yang menandatangani piagam permesta. Waktu itu semua menjadi kacau, Hanafi yag sedang getol-getolnya mengkampanyekan partainya dan mendapat tugas untuk berorasi mempengaruhi penilaian public pada kinerja pemerintah harus bersembunyi untuk sementara waktu.  Hamzah sendiri kadang bingung harus menjawab apa jika kemudian rumah  didatangi aparat, digeledah untuk mencari Hanafi. “ Lha sampeyan ikutan organisasi dan partai itu tidak?” Tanya aparat kelurahan atau kepolisian setiap kali Hanafi dicari. Hamzah menggeleng. “Saya ini cuma guru ngaji murid Kyai Basori. Saya nggak ikut-ikutan politik. Bapak bisa lihat sendiri, tidak ada pamphlet atau poster partai. Yang ada batik bikinan ibu dan adik saya.”Jawabnya. Hamzahlah yang sering harus repot memenuhi panggilan polisi setiap saat. Hanya saja ia bersyukur Hanafi tidak pernah membawa pulang dokumen-dokumen partai ke rumah. Anak itu bukan saja orator ulung tetapi sekaligus seorang politisi yang licin.

 

Partai Hanafi  ternyata juga terindikasi berhubungan dengan pemberontakan DI/TII maka untuk menghindari penangkapan Hanafi disekolahkan di Perancis selama 4 tahun. Hanafi mendalami ilmu politik dan Negara. Hamzahlah yang menerima kabar dari ajudan sang Jendral sore itu ketika selepas ngaji. Seorang berseragam prajurit milisi bukan TNI semacam banser kalau di NU menemuinya. Hamzah sudah cemas, ia buru-buru menutup pintu suapaya tidak ada orang yang melihat pertemuan itu. “Kang Hamzah, saya utusan pak Jendral. Saya diminta menyampaikan bahwa adik anda Hanafi baik-baik saja. Mungkin akan pergi agak lama, karena Jendral menugaskannya belajar di luar negeri. Di Perancis. Jadi tolong sampaikan pada ibu jangan cemas.”Katanya. Hamzah yang ketakutan mengangguk. Hatinya lega mendengar berita adiknya baik-baik saja.

 

Hamzah sebenarnya sangat berharap kejadian ini akan membuat Hanafi berpikir lebih jernih dan hati-hati. Tetapi sepertinya  hal itu sudah menjadi bagian dari pilihan hidupnya. Hamzah tak sempat menghela nafas yang panjang karena pemberontakan-pemberontakan itu praktis membuat keadaan tidak aman, apalagi bagi mereka-mereka yang dicurigai memiliki hubungan dengan para pengacau. Jogja sendiri relative cukup terkendali kondisinya, hanya pantauan radio saja mengenai kondisi keamanan nasional yang masih porak poranda dan mencekam. Belum lagi saat peristiwa bom Cikini terjadi dan upaya-upaya pembunuhan terhadap presiden. Selalu dihubungkan dengan PRRI dan DI/TII. Hamzah jantungnya seperti dipacu tiap kali ada kabar baru. Ia hanya bersyukur Hanafi sudah berada jauh  di luar negeri.

 

Saat tragedy revolusi berdarah tahun 1965 terjadi. Hanafi baru saja menyelesaikan pendidikan Masternya di Eropa dan kembali ke Indonesia. Berkat pertolongan Pak Jendral yang sekarang dekat dengan rezim baru, Hanafi dapat diterima sebagai dosen Universitas terkemuka di Jakarta. Tugasnya selain mengajar, juga membrain washing mahasiswa dengan ideology-ideologi yang diyakininya, terutama materialism kapitalis religius. Keampuhan orasinya masih digunakan untuk mengkampanyekan pembersihan masyarakat dari unsur-unsur komunis. Hanafi sangat ganas dalam hal itu dan tidak mengenal belas kasihan. Ia juga mengkoordinasi para pelajar untuk bergabung dalam korps pelajar serba guna yang bertujuan menghabisi sisa-sisa komunisme.

 

Pembersihan itu sangat sistematis, massif dan terstruktur. Hanafi sendiri memanfaatkan  kedudukannya untuk mengidentifikasi para eks komunis sebagai sarana menyingkirkan musuh-musuhnya termasuk Teja Wardoyo.  Ia tidak hanya memasang jerat bagi Teja dan keluarganya namun juga merampas semua harta miliknya. Sehingga Hanafi tidak lagi memerlukan rumah Anwar sebagai tempat tinggal karena ia berhasil mengusai berhektar-hektar tanah lurah Wardoyo.

 

Hanafi menjual sebagian tanah-tanah itu dan rumah lurah Wardoyo untuk membeli sebuah rumah mewah di Jakarta. Ia juga mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.Sampai di situ kemarahan Hamzah tidak lagi tertahankan. Ia menganggap Hanafi sudah melampaui batas. Apalagi kala itu Hamzah tengah menjalin kasih dengan Rusmini adik Teja. Rusmini adik Teja termasuk salah satu daftar yang diberikan Hanafi pada aparat keamanan. Rusmini dituduh sebagai aaggota Gerwani. Hamzah marah bukan kepalang. Ia mendatangi Hanafi untuk menarik laporannya. “Nif, kau boleh sakit hati pada Teja karena ia pernah menikungmu.  Kau juga sudah membalas dendam. Tapi jangan sangkutkan Rusmini dalam hal ini. Ia tidak bersalah, Nif. Kumohon. “ Kata Hamzah.Hanafi menyipitkan matanya dan berkata begitu keras pada Hamzah, seolah yang ada dihadapannya itu bukan kakak laki-lakinya. “Dia gerwani, Mas. Perempuan tak bermoral yang memotong-motong tubuh para jendral kita.” Jawab Hanafi.  “Nif! Rusmini itu tak pernah kemana-mana selain mengaji di rumah Kyai Basori dan bersekolah di sekolah ketrampilan putri. Ia bukan Gerwani, aku jaminannya.”Kata Hamzah. “ Kau pernah bilang padaku ketika aku remaja dulu, saat aku membaca Engels, Marx dan Hegel.Nif, kita ini orang beragama. Komunis itu adalah ideology yang terlarang, dilarang oleh agama. Maka Mas Hamzah aku haramkan dirimu menyentuh Rusmini si gerwani itu. Selain itu apa yang kau harap dari bapak perempuan itu yang dulu mengusir keluarga kita. Apa kau berharap ia akan menerimamu sebagai menantu? Mikir dong, mas”Jawab Hanafi tanpa sedikitpun belas kasihan. Dan sejak malam itu Hamzah tak lagi pernah melihat Rusmini.

 

Hamzah sering kali menayakan Rusmini ke orang-orang yang memiliki akses untuk bisa tahu kemana orang-orang yang diindikasikan terlibat PKI. Sampai sebuah nama penjara seram di kabupaten Kendal sampai di tangan Hamzah. Penjara itu besar dan mengerikan, bekas rumah sakit lepra yang disulap paksa menjadi penjara. Dengan surat sakti dari para pembesar teman-teman Kyai Basori, akhirnya Hamzah berhasil menemukan Rusmini di penjara Plenthungan. Dan betapa hancur hati Hamzah ketika melihat kekasihnya itu. Ia sudah tak lagi mengenali Hamzah, pakaiannya tidak karuan dan gadis cantik itu menjadi gila. Bagaimana tidak, hidupnya selama ini di pesantren . Tak ada seorang lelakipun menyentuhnya. Ia mengenal Hamzah dari Kyai Basori yang mencoba menta’arufkan mereka. Dari sering mengaji dan bershalawat bersama cinta tumbuh diantara mereka. Namun kini Hamzah hanya melihat sosok mayat yang hidup. Rusmini menjadi gila karena begitu sering disiksa, diperkosa bergiliran. Hingga akalnya tak lagi mampu menanggung kewarasannya. Dengan langkah gontai  Hamzah pulang dan menangis di bawah kaki Kyai Basori.



Kebun tebu milik pabrik gula di mana Karsono bekerja telah menghasilkan berton-ton gula bagi masyarakat banyak. Namun keberadaannya rupanya mengancam proyek permukiman mewah yang sedang digagas oleh Hanafi. Alasannya cukup klasik bahwa para investor asing membutuhkan suatu kompleks rumah tinggal yang layak dan tidak menjadi satu dengan penduduk kampung. Hanafi sudah menerima konsesi cukup banyak dari developer  dan pekerjaan umum untuk menggoalkan beberapa regulasi yang mendukung pembebasan tanah di beberapa propinsi termasuk di mana Karsono dan Raudah tinggal. Tanah-tanah itu dihargai sangat murah dengan alasan demi pembangunan. Selain proyek pengembangan pemukiman, Hanafi yang telah menjadi wakil rakyat itu juga harus menyetujui pembuatan jalan lingkar yang juga akan meomotong jalur-jalur rel lori kereta pengangkut tebu dari ladang tebu ke pabrik.  Jalan lingkar ini juga digagas akan meningkatkan perekonomian rakyat karena diharap bisa membuat jalur transportasi darat menjadi lebih lancar. Jalan lingkar ini kebetulan memotong separo lebih tanah dan rumah milik keluarga Karsono. Hal ini tentu saja membuat Karsono naik pitam dan dengan berhutang di sana sini, berangkatlah Karsono ke Jakarta menemui Hanafi.

 

Pagi-pagi buta Karsono sudah berdiri di depan rumah mewah Hanafi. Saat itu Subuh baru saja lewat, Hanafi baru selesai beribadah di masjid dekat kompleks perumahan wakil rakyat itu. Hanafi benar-benar berubah, sarung dan baju Kokonya terbuat dari kain yang mahal dan kopiahnyapun berbeda dengan yang dipakai Karsono. Sajadahnya masih tersampir di pundak ketika ia mempersilahkan Karsono masuk. Hanafi kelihatan jauh lebih berwibawa daripada bocah ingusan yang dikenal Karsono dulu. Wajahnya jauh lebih putih dan bersih. Mungkin ia menghabiskan uang jutaan rupiah untuk merawat wajahnya yang selicin marmer itu. Karsono sendiri mendengar issue dari para tetangga yang mengenal dan kebetulan pernah bertemu Hanafi baru-baru ini, yang mengatakan bahwa hidung Hanafi saat ini jauh lebih mancung dari sebelumnya. Mungkin ia melakukan operasi plastic yang mahal. Karsono mengamatinya dan memang Hanafi berubah menjadi sedikit lebih ganteng dibanding sebelumnya.

 

“Duduk, mas.”Kata Hanafi dengan raut muka yang tidak terlalu ramah. Hubungan masa lalu diantara keduanya memang tidaklah mulus. “Ada yang bisa kubantu? Apa mbak Raudah butuh sesuatu?”Tanya Hanafi. Pertanyaan-pertanyaan itu sungguh menyinggung hati Karsono karena semestinya sebagai tamu yang datang dari jauh, Hanafi menawarkan minum atau setidaknya menanyakan kabar dulu. Setelah jadi orang  Jakarta adabnya  berbeda. Dingin, tidak ramah dan nampak begitu merendahkan.  Karena Hanafi menyatakan perasaannya dengan to the point, Karsono juga merasa tidak perlu basa-basi terhadap adik iparnya itu. Ia langsung pada pokok masalahnya. “Aku datang ke sini untuk meminta padamu sebagai wakil rakyat untuk menghentikan proyek lingkar selatan yang melewati tanah keluargaku. Aku juga memohon padamu agar proyek rumah mewahmu itu tidak menggunakan lahan tebu milik perusahaan gula kami. Jika proyek itu berlangsung sudah pasti pasokan tebu akan berkurang ke pabrik sehingga kami tidak bisa menggiling. Jika kami tidak menggiling maka perusahaan akan merumahkan kami.” Jawab Karsono. “Oooh, jadi karena itu Mas Karso datang jauh-jauh ke Jakarta. Bukannya ada uang ganti rugi untuk itu semua. Kurang banyak ya?” kata Hanafi dengan nada mengejek. “Bukan karena uang, Nif. Tapi kami akan kehilangan pekerjaan dan uang ganti rugi itu takan bisa untuk membeli rumah baru yang luas dan nilainya sama dengan rumah yang kami tempati saat ini.” sahut Karsono dengan nada tinggi. “Dengar, mas. Proyek ini adalah proyek pemerintah. Diselenggarakan untuk kemakmuran rakyat yang lebih besar. Jadi seharusnya sebagai warga Negara yang baik, kita mesti mendukung proyek ini. Kalau memang harus berkorban untuk Negara kan tidak masalah. Dulu sewaktu memperjuangkan kemerdekaan, kita juga berkorbankan? Kenapa sekarang tidak? Sewaktu kami diusir dari desa dulu dan Anun butuh uang untuk berobat, kami juga berkorban. Kau bahkan mengusir kami dan berkata harus mau menerima nasib jika harus menderita karena kemiskinan kami. Kurasa mas pasti belum lupa.” kata Hanafi menusuk.”Oh…jadi kau masih dendam karena peristiwa itu?”Tanya Karsono. “Ini bukan soal dendam mas Karso. Aku sudah bilang ini proyek pemerintah. Kesepakatan di DPR bukan aku saja yang memutuskan tapi banyak orang.”sahut Hanafi mengelak. Karsono marah sekali namun ditahannya. “Tapi kau kan ketua fraksi. Pendapatmu jelas berpengaruh dalam forum itu.”kata Karsono.”Kau tidak tahu mekanisme di DPR, mas. Jadi sudahlah. Anggap aku tidak bisa menolongmu. Yah jadi terima saja sebagai takdir.” jawab Hanafi ringan. Karsono hampir saja kalap seandainya ia tidak mengingat sedang berada di rumah siapa. Karsono sangat kecewa karena Hanafi ternyata hanya menganggap enteng persoalan itu, padahal nasib ribuan buruh pabrik gula bergantung pada keberadaan lahan-lahan itu. Saat Karsono mulai menyinggung hal itu Hanafi menjawab “Yah….kalau satu atau dua pabrik gula tutup itu bukan masalah. Toh kita masih bisa import.” Katanya tanpa beban. Karsono hatinya dongkol, jelas sekali dalam hal ini Hanafi tidak berpihak pada kaum buruh dan para petani tebu.

 

Karsonopun akhirnya pulang dengan membulatkan tekad akan melawan sendiri proyek-proyek tersebut. Iapun menggalang masa. Mereka berdemonstrasi dihadapan para pekerja jalan. Memotong pohon-pohon dan menghalangi truk-truk pengangkut material masuk ke lokasi proyek. Hal ini tentu saja menjengkelkan Hanafi karena jika proyeknya tertunda sudah pasti konsesinya akan terhambat juga. Maka saat demonstrasi marak, Hanafi turun diantara kerumunan massa sambil berorasi “Bapak dan ibu sekalian, mengapa bapak dan ibu menghalangi proses kemajuan?Bukankah jika jalan menjadi bagus, bapak dan ibu juga yang menikmati. Jika banyak perusahaan asing berdiri di sini, bukankah Bapak dan ibu atau anak-anak bapak dan ibu akan bisa bekerja sebagai buruh dan gaji yang layak? Yang diminta pemerintah tidak banyak, hanya sejengkal tanah bapak dan ibu, yang nantinya kesejahteraannya bapak-ibu juga yang akan menikmatinya.”Kata Hanafi dengan suara yang lantang dan merdu. Seperti terhipnotis mendengar orasi,  para demonstran akhirnya membubarkan diri. Bahkan banyak yang memuji Hanafi karena ternyata proyek ini akan membuka lebih banyak lapangan kerja.

 

Hamzah yang baru pulang dari mengajar di Madrasah mengamatinya dari kejauhan, begitu pula Raudah. Raudah nampak menangis di pelukan Hamzah.”Zah, kenapa Hanafi menjadi berubah seperti itu? Memang semua yang dikatakannya benar, tapi kalau dia mau melihat sedikit nuraninya, ia takan menjual bangsanya.” isak Raudah. “Entahlah, mbak. Aku seperti tidak mengenalinya lagi.” sahut Hamzah. Hatinya sendiri masih sangat terluka dengan perlakuan Hanafi pada Rusmini. Hanya saja ia dan kyai Basori tidak dapat berbuat banyak. Ia dan Kyai Basori hanya bisa mengeluarkan Rusmini dari penjara Plenthungan dengan jaminan kemudian memindahkan Rusmini ke rumah sakit jiwa. Hamzah dan Kyai Basori lah yang menanggung biayanya karena seluruh keluarga Rusmini semuanya dibuang ke Pulau Buru entah untuk berapa lama. Hamzah sendiri kini sudah menikah dengan keponakan Kyai Basori yang bernama Haznah. Tetapi pandangannya pada Hanafi sudah tak lagi sama seperti dulu. Hamzah hanya bisa menghibur Raudah agar bersabar.

 

Malam harinya rumah Raudah diketuk empat orang laki-laki tak dikenal. Wajah mereka seram dan mereka mencari Karsono. Alasannya adalah untuk menagih hutang. Karsono yang sedang agak pusing karena persoalan tanahnya, tidak mengira kalau ia akan dijemput paksa. Karsono sendiri mengelak bahwa ia mempunyai hutang apalagi hutangnya adalah hutang judi. Ia hanya bilang bahwa ia hanya berhutang untuk membeli tiket Jogja-Jakarta pulang pergi. Raudah menangis keras ketika keempat laki-laki itu menyeret Karsono pergi.

 

Karsono menghilang selama empat hari. Hamzah dan Hizam membantu Raudah untuk mencari,namun mereka tidak menemukannya. Pada hari kelima salah seorang mandor pabrik tebu yang lain datang dan mengabari Raudah jika Karsono ditemukan meninggal terjepit roda penggilingan tebu di bekas pabrik lama yang sudah tidak terpakai. Raudah langsung pingsan mendengarnya. Semua percaya jika apa yang menimpa Karsono adalah sebuah kecelakaan karena setelah dijemput paksa oleh empat orang laki-laki itu banyak saksi mata melihat bahwa  Karsono sempat datang ke gudang dan mengecek persediaan tebu untuk masa giling selanjutnya. Hanya Hamzah saja yang tidak percaya jika Karsono meninggal karena sebuah kecelakaan. Hamzah yakin seseorang memang sedang mengincar nyawa Karsono. Lucunya polisi sama sekali tidak mengusut kasus itu.

 

Raudah sendiri memiliki nasib yang tidak kalah aneh. Sepeninggal suaminya, Hanafi beberapa kali datang untuk menta’arufkan kakaknya dengan beberapa pria yang dianggap Hanafi lebih layak mendampingi Raudah. Tetapi Raudah menolak dengan halus. Raudah hanya ingin Hanafi mau meluluskan permintaan terakhir suaminya, agar tidak memotong rumah dan pekarangannya untuk jalan lingkar selatan. Tentu saja Hanafi tidak mau karena berbagai alasan, hingga akhirnya Hanafi menjanjikan Raudah rumah baru yang lebih bagus dari yang ditinggalinya sekarang. Raudah tetap tidak mau. Apa yang dilakukan Raudah kemudian adalah hal yang sama sekali tidak disangka baik oleh Hanafi maupun Hamzah. Ketika mesin-mesin berat mulai menggusur rumah Raudah. Raudah meskipun dipaksa tetap tidak mau meninggalkan rumah. Ia bahkan menghalangi para pekerja untuk menghancurkan rumah itu. “Jangan…jangan ambil rumahku. Itu peninggalan suamiku satu-satunya.”teriaknya menghiba. Namun tak seorangpun mendengarkan. Ia menangis dan meminta dikasihani “Tolonglah, Pak. Jangan ambil rumah kami. Itu milik kami yang tersisa. Hanafiiii….teganya kau lakukan ini padaku. Apa salahku? Hanafiiii.”Teriak Raudah seperti orang gila. Akhirnya Raudah diseret paksa untuk minggir dari rumahnya itu. Sejenak Raudah nampak sudah bisa tenang  menyaksikan rumah tempat ia dan suaminya membangun rumah tangga dihancurkan. Tetapi entah iblis darimana memasuki jiwa Raudah, dengan menggendong anaknya yang masih kecil waktu itu Raudah menghadang Beko yang tengah melaju sambil berteriak “Jika kau mau ambil hartaku, Niff, ambil juga sekalian nyawaku, anak tak tahu diri.” Jeritnya. Beko itu tak sempat menghindar akibatnya wanita yang baik itu bersama anaknya harus meregang nyawa.

 

Hamzah dan Salmalah yang mendapat berita meninggalnya Raudah dan anaknya, mereka berdua akhirnya yang harus mengurus jenazah dan pemakaman Raudah. Hizam saat itu masih ada di desa lain menjalankan tugas akhir kuliahnya.  Ibu mereka Julaikah berkali-kali pingsan saat mendengar kematian anak perempuan dan cucunya itu. Sementara Hanafi tidak datang baik ke pemakaman maupun tahlilan kakak perempuannya  yang selama ini begitu kasih kepadanya. Ia malah sibuk berorasi untuk meyakinkan masyarakat bahwa  proyek-proyek yang digagasnya adalah proyek-proyek yang hebat dan luar biasa bermanfaat untuk rakyat. 

 



Hizam sedang duduk membaca buku saat Salma datang berkunjung ke rumahnya. Setelah basa-basi yang cukup lama Salma membuka pembicaraan mengenai Hanafi dan keluarganya. “Kau sudah mendengar kasus yang menimpa Arum?”Tanya Salma. Hizam mengangguk. Salma begitu gelisah seakan ingin mengeluarkan unek-unek di dalam hatinya tapi serasa tak sampai. “Ada apa?” tanya Hizam. “Apa mungkin mas Hanafi sedang menerima karma atas perbuatannya ya mas? Coba kau pikir, ada saja yang menimpanya  akhir-akhir ini. Ia ditangkap KPK karena ada aliran dana yang mencurigakan masuk rekeningnya, sementara Arman dan Arfa juga sedang dicurigai KPK terlibat hal yang sama. Sekarang Arum anaknya dilecehkan.” Kata Salma. “Huusshhh, jangan bicara sembarangan. Kita ini sudah tua, kalau didengar anak-anak bagaimana?”sahut Hizam. “Justru itu yang menjadi ganjelanku cukup lama. Selama ini mereka mengelu-elukan mas Hanafi kan karena mereka tidak tau siapa mas Hanafi sebenarnya.”kata Salma. “Waahh, kau mulai ketularan virus mas Hamzah ini. Sudah jangan gibah, tidak baik.”kata Hizam.”Mas, aku ini bisa bicara karena aku tahu sesuatu dan sudah tidak tahan lagi menyimpan ini. Dulu aku kagum pada mas Hanafi tapi sejak kejadian itu aku jadi takut.” kata Salma. “Yang kau takutkan apa sih? Mas Hanafi memang galak dan tanpa ampun kalau dengan musuh-musuh politiknya, tapi pada keluarga, dia baik. Yaaahh, kalau soal mas Hamzah aku tidak komentar karena itu masalah hati. Yang aku tahu, mas Hamzah memang sangat mencintai Rusmini. Kejadian itu memang sudah menorehkan luka yang sangat dalam di hati mas Hamzah dan konon dari yang kutahu, mas Hamzah memang sulit melupakan Rusmini walau sudah menikahi mbak Haznah.”kata Hizam. “Wah satu lagi pembela Hanafi.”begitu pikir Salma

 

Keduanya seperti terpekur dalam lamunannya masing-masing namun Salma sepertinya sudah tak mampu lagi menahan gejolak dan rahasia yang dipendamnya selama  ini. “Mas, kalau aku bercerita ini padamu, bisa tidak kau tidak berposisi membelanya. Kalau tidak, aku akan mengatakan ini pada mas Hamzah saja supaya setidaknya ada yang bisa mengingatkan mas Hanafi kalau kelakuannya itu sudah terlalu jauh.”kata Salma. Hizam menghela nafas panjang sambil menyeruput kopinya. “Ya wis, kamu boleh cerita. Aku ndhak akan bela siapapun. Toh selama ini posisiku netral. Tapi kamu juga jangan mengada-ada, lha wong bagaimanapun mas Hanafi itu kan masih kakak kita berdua lho. Belum ganti status. Dia juga baik ta padamu dan suamimu. Suamimu bahkan diangkat jadi asisten pribadi, coba kurang apa. Kalau ke luar negeri, belanja ini-itu, suamimu kecipratan juga ta.”goda Hizam. Salma cemberut. “Ya, itu juga yang membuat aku selama ini tutup mulut. Tapi aku udah nggak tahan sekarang mas. Setidaknya kalau terjadi sesuatu padaku, mas Latief suamiku atau anak-anak, kau tahu aku pernah menceritakan ini kepadamu Mas.”sahut Salma. “Wah, serius banget jadinya. Memang apa ta Ma…ma yang bisa dilakukan mas Hanafi padamu?”tanya Hizam. Salma kembali diam. Air matanya jatuh tiba-tiba. Hizam menjadi merasa bersalah karena sudah menggoda Salma. Ia memeluk adiknya itu dengan kasih. “Wis..wis. Nggak usah nangis. Aku kan jadi bingung kalau seperti ini.”kata Hizam sambil menyodorkan tissue pada adiknya.

 

Salma menata hatinya dan mulai bercerita. “Mas, kamu ingat tidak? Malam waktu mas Karsono hilang, katanya diambil paksa sama preman-preman nggak jelas itu.” tanya Salma. Hizam mengangguk. “Sebenarnya aku dan ibu tahu kemana mas Karso dibawa oleh preman-preman itu.”kata Salma. Hizam terkejut.” Waktu kau dan mas Hamzah mencari-cari mas Karsono selama dua hari dan tidak ketemu, aku dan ibu melihatnya dibawa ke gudang tua yang sudah tak terpakai di belakang pabrik.  Waktu itu kurang lebih jam 8 malam. Aku baru saja selesai mengantar ibu berobat  ke dokter yang berpraktek di timur pabrik gula.  Aku dan ibu mengikuti mereka dari jauh dan mereka masuk ke dalam gudang itu. Aku dan ibu mencoba mengintip dari lubang-lubang yang ada di seng penutup gudang. Di sana akau melihat mas Karso dipukuli oleh preman-preman itu. Tak berapa lama berselang  ada mobil bagus dengan plat Jakarta muncul. Aku dan ibu terpaksa sembunyi.  Orang di dalam mobil itu keluar lalu bertanya “Apakah semua beres?”  Suaranya jelas sekali kita kenal, itu suara mas Hanafi. Saat ia melangkah masuk gudang, kami kembali mengintip ke dalam. Benar, itu mas Hanafi. Ia menjambak rambut  mas Karso dan menepuk-nepuk pipinya yang sudah penuh darah. Entah apa yang dikatakannya .Tapi kami mendengar mas Karso merintih, memohon dan menghiba, tapi mas Hanafi tidak bergeming. Ia bahkan mendorongnya hingga jatuh dengan muka jijik.  Ia lalu mengatakan pada anak buahnya itu untuk menyelesaikannya. Satu orang kemudian mengambil kawat tebal yang panjang dan ia melingkarkannya ke leher mas Karso. Dengan sekali hentak, hidup mas Karso selesai malam itu. Aku dan ibu hampir mati berdiri melihat semua itu. Apalagi saat anak buah mas Hanafi menaruh tubuh mas Karso di bekas penggilingan tua itu dan menjepitnya. Suara kertakan tulang yang remuk karena mesin giling itu saja membuat hatiku ini serasa dihancurkan. Aku dan ibu tak lagi berani melihat kelanjutan semua itu. Satu hal yang aneh. Ketika tubuh mas Karso yang sudah meninggal itu dijepit dalam mesin giling tebu, aku mendengar suara anak kecil menjerit. Jelas itu bukan suara mas Karsono karena aku yakin ia sudah tewas. Aku mencoba mengintip, tapi tak terlalu jelas. Hanya kelihatan sayup-sayup suara anak kecil yang menangis dan meronta dibawa pergi oleh Hanafi dan anak buahnya. Siapa ya dia?” kata Salma diantara isaknya. Hizam terdiam, sepertinya ia sedang mencoba untuk memahami segalanya. “Sejak saat itu, ibu lebih sering kambuh sakitnya. Dan waktu ibu mau meninggal, saat mas Hanafi mencium tangan ibu dan meminta maaf, kita semua mendengar ibu mengatakan apa. Ibu mengatakan “pembunuh,” tak berselang lama ibu meninggal. Mungkin mas Hizam dan mas Hamzah mengira kalau ibu mungkin masih menyalahkan mas Hanafi karena kematian Anun dan mbak Raudah. Sama sekali tidak. Ia mengatakan itu, karena ia  dengan matanya melihat bagaimana mas Hanafi mengakhiri hidup mas Karsono.” lanjut Salma. Hizam mengangkat tangannya sambil memejamkan matanya dan meminta Salma untuk berhenti. Hatinya perih  sekali, ia kini juga tahu mengapa Salma terpaksa mengikuti semua yang dikatakan Hanafi. Salma takut bahwa Hanafi akan melakukan hal yang sama pada mereka semua jika menentangnya.



Dugaan Adrian sangat benar. Hans kembali menghubungi Krish untuk membicarakan beberapa kesepakatan yang diinginkan. Krish sudah mempersiapkan segalanya karena ia tahu sedang menghadapi orang yang sangat licik.  Ia sudah meminta Roni dan Amanda bawahannya untuk berjaga-jaga. Krish sendiri sudah menuju tempat kesepakatan dengan berpakaian preman. Ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna putih dan jeans biru. Ia juga mengenakan jaket kulit berwarna hitam.  Sepatunya cukup formal dan memakai kaca mata hitam. Wajahnya yang tampan  sangat pas dengan penampilannya itu.

 

Hans sudah menunggu di ruangan  bersama ArumArsyad yang seperti biasa berdandan dengan fashion model terbarunya. Begitu Krsih masuk, Hans meminta anak buahnya menggeledah Krish. “Heiii, apa-apaan ini? Apa kalian pikir aku akan menembak kalian karena sudah memfitnahku.” kata Krish pura-pura marah. “Tenang inspektur. Ini hanyalah  cara kami berjaga-jaga, siapa tahu kau membawa alat penyadap, perekam atau semacamnya.”kata Hans Patria. Krish tertawa terbahak-bahak “Kau pikir ini film detektif. Helooo…..ini dunia nyata dan jangan bersikap aneh-aneh. Sekarang katakan saja kesepakatannya” kata Krish. Hans memberikan tanda pada anak buahnya untuk pergi.

 

Hans mempersilahkan Krish duduk. Arum tidak berani menatap mata Krish. Ia begitu tampan dan mempesona. “Jadi begini pak Inspektur kita langsung pada pokok masalahnya saja. Kami sudah melaporkan anda atas tuduhan  penganiayaan dan pelecehan seksual. Namun kami akan mencabut laporan itu jika kau bersedia membantu kami dalam beberapa hal ini. Pertama kau memiliki akses untuk bisa mengambil barang bukti yang memberatkan pak Hanafi karena itu kami ingin kau membantu kami untuk masalah ini. Yang kedua kami ingin segala info yang dimiliki oleh KPK karena kebetulan kau bersahabat baik dengan salah seorang komisioner KPKkan? Yang ketiga kau mau bertanggung jawab pada nona Arum dengan menikahinya karena kau sudah menyentuhnya.”kata Hans. Krish menyeringai aneh karena terkejut dan setelah beberapa lama terdiam akhirnya dengan takjub ia bilang “Wow. Kaya jin dalam lampu Aladin, ya? Tiga permintaan yang mustahil. Aku akan berkata jujur untuk semua ini. Pertama aku tidak punya akses langsung dengan alat bukti karena bidangku bukan tipikor, aku ada di sub bidang cyber. Jadi aku membutuhkan perpanjangan tangan untuk itu, artinya kemungkinan aku tertangkap karena menghilangkan alat bukti akan sangat tinggi. Kau pengacara dan kau tentu paham pasal 216 KUHP tentang penghilangan alat atau barang bukti. Sama-sama dipenjara. Lalu apa untungnya buatku. Jika dalam kasus ini aku bisa membuktikan sebaliknya, aku bahkan tidak akan menerima hukuman apapun, aku bahkan bisa menuntut balik.” Jawab Krish. “Tapi video itu sudah jelas menunjukan kau pelakunya. Kau melecehkan aku, inspektur.” Kata Arum emosional dengan isak tangis yang dibuat-buat seolah begitu terluka. “Wooww….woow, rupanya kau sudah tak sabar untuk kunikahi? Tunggu dulu sebentar. Kenapa jadi kau yang bernafsu.”lanjut Krish. Muka Arum merah padam karena malu.”Dengar nona, jika kau membayar pengacara dengan harga mahal, pastikan ia memberikan pelajaran dan nasehat hukum yang benar padamu supaya uangmu tidak sia-sia. Pertama video atau cctv tidak bisa menjadi alat bukti utama hanya berupa alat bukti perluasan atau alat bukti permulaan, apalagi editan.Kau bisa baca dalam pasal 184 KUHAP serta putusan MK. Dan untuk bisa menyatakan seseorang menjadi tersangka diperlukan minimal 2 alat bukti. Apa kau punya saksi? Oke. Mungkin kau punya saksi atau lebih tepatnya orang yang kau bayar untuk memberikan kesaksian palsu dan kami para polisi sudah begitu ahli untuk membongkar kesaksian palsu macam itu. Kedua masalah aku bersahabat dengan Adrian. Aku memang berteman baik diluar profesionalitas pekerjaan kami masing-masing dan kami tidak bisa saling mengintervensi pekerjaan. Lalu untuk yang ketiga, kalau kupikir-pikir siapa ya yang melecehkan? Anda atau saya nona Arum Arsyad? Anda memberikan tawaran untuk menikahi diri anda seolah saya ini lelaki apaan. Soal tuduhan pelecehan, saya sudah menjelaskan. Jadi silahkan laporkan saja. Saya tunggu anda di Pengadilan.” jawab Krish sangat tenang. “Kau!” Arum berdiri sambil menunjukan jarinya ke wajah Krish yang dibalas dengan tatapan mata yang tajam. Krish berdiri dan menggenggam telunjuk Arum “Nona, kalau kau mengira bisa mendapatkan semua pria yang kau inginkan dengan caramu ini, maka kupastikan kau akan menua sendirian. Dan kalau kau berpikir bahwa aku akan menyentuhmu dan melecehkanmu, kupastikan kau salah besar. Kau bukan tipeku dan aku tidak berselera dengan perempuan ambisius sepertimu. Jari telunjukmu bisa terjulur ke wajahku. Tapi 3 jari yang lain sedang menunjuk kepadamu, jadi siapa diantara kita berdua yang berpikiran kotor.” Katanya lalu ia melepaskan jari Arum. Arum tertunduk dengan wajah kesal. Krish menatap Hans dan berkata “Saranku padamu, nikahi saja dia kalau kau mau. Aku tidak berminat. Selamat siang.”lanjut Krish sambil berlalu.

 

Di tempat parkir  Roni dan Amanda sudah menunggu. Mereka memberikan acungan jempol sebagai tanda mereka berhasil menyadap semua pembicaraan. “Wuuiiih, Pak inspektur hebat.Seru pak! Kaya film India.” komentar Roni. “Wah, lumayan pak aktingnya, besok saya daftarkan audisi ya.” Amanda menambahi.  Krish kemudian merangkul kedua anak buahnya. “Aku tidak perlu mengkuatirkan apapun, kan?” tanyanya sambil melepaskan alat sadap yang dipasang seolah kancing di jaket kulitnya. Roni mengangguk, sebentar mereka memutarkan hasil rekaman mereka. Krish tersenyum senang. Ide Adrian memang brilliant. “Jadi nona Amanda, siapa menurutmu yang harus kunikahi, Aishwarya Rai atau Priyanka Chopra?”tanya Krish bergurau. Amanda menjawab atasannya “Wah bapak telat. Mereka sudah dinikahi, Pak. Gimana kalau Chelsea Island saja.” Krish mengangguk “Bisa dipertimbangkan.”

nnnnnnnnnn

 

Di hari yang sama seorang wanita datang ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian malam perampokan, dimana wanita bernama ArumArsyad menjadi korbannya. Ia menyerahkan barang bukti berupa CCTV asli yang tidak diedit dan beberapa berkas. Ia juga menyerahkan foto-foto para penyerang itu beserta namanya. Tetapi wanita itu menolak memberikan identitasnya sebagai pelapor.

 

Polisi segera bergerak menangkap Iksan dan gangnya. Mereka yang sedang asyik ngobrol sambil menenggak bir dengan uang yang diberikan oleh Dhani, tidak menyangka bahwa polisi datang untuk menangkap mereka. Begitu disergap mereka berusaha lari. Namun karena terlalu mabok mereka begitu mudah diringkus.  Iksan yang pertama ditangkap, baru kemudian seluruh gangnya.

 

Mereka ditempatkan diruangan yang berbeda untuk diintrogasi.  Krish dipanggil untuk menyaksikan bagaimana bidang criminal menyelesaikan persoalan yang menjerat sejawatnya ini. Iksan akhirnya mengakui bahwa percobaan perampokan itu hanya sebuah tipuan untuk menjerat Krish. Ia dibayar oleh Arum supaya dapat menekan Krish mengikuti kemauannya. Iksan juga mengatakan bahwa tim yang membuat video dan mengedit semua kejadian di CCTV adalah kelompok cyber partai dimana Arum dan Hanafi berada. Krish kesal sekali tetapi ia punya cara untuk menjebak Arum dan komplotannya yang lain. Setelah berdiskusi dengan kepala bagian criminal Krish mendapat persetujuan dan wewenang untuk membongkar persekongkolan dan permufakatan jahat ini, tentu secara bersamaan dan terkoordinasi agar, targetnya tidak lolos.

 

Sementara di KPK, wanita yang sama memberikan laporan mengenai penyelewengan dana social untuk bencana dan event nasional yang dibiayai Negara tapi diselenggarakan oleh organisasi massa di bawah partai Hanafi. Lagi-lagi perempuan ini menolak memberikan identitasnya. Setelah mengantongi bukti-bukti itu, KPK segera meluncur menuju target. Arman dan Arfa yang di duga terlibat dalam kejahatan tersebut segera diringkus. Mereka mencoba untuk membela diri tapi sia-sia.  Mereka segera diamankan di dalam mobil tahanan sebagai pesakitan. Sekali tepuk dua belut yang sangat licin akhirnya tertangkap juga.

nnnnnnnnnnnnnn

 

 

Pagi harinya surat kabar ramai memasang headline yang begitu besar “ARUM ARSYASD MENGANCAM PETUGAS NEGARA UNTUK MEMBEBASKAN AYAHNYA.”  Lalu Koran yang lain memberitakan “KELUARGA ARSYAD TERLIBAT PENYALAHGUNAAN DANA SOSIAL BENCANA NASIONAL” Arum yang sedang menikmati sarapannya hampir saja tersedak membaca berita itu. Isi rekaman kesepakatannyapun bahkan sudah menyebar di jagat maya. Semua adalah ulah Roni dan Amanda yangmengcounter berita media social yang dibuat Arum. Mereka berdua telah bersepakat untuk mengadakan perang cyber dengan kelompok Dhani termasuk yang berkaitan dengan korupsi keluarga Arsyad. Arum kebingungan sampai hampir tak bisa bernafas. Ia tak tahu lagi harus bagaimana dan berbuat apa? Inspektur polisi ini ternyata lebih cerdas dari dugaannya. Arum kemudian menelpon Hans, diujung telpon Hans juga menyatakan kebingungannya bagaimana kesepakatan itu bisa bocor, padahal ia sudah memastikan bahwa Krish tidak membawa penyadap apapun. Arum kesal sekali, tiba-tiba ia teringat kata-kata Adrian yang menyuruhnya untuk memastikan bahwa uangnya tidak sia-sia ketika membayar seorang pengacara. Ia marah, kesal, sedih, panic bercampur menjadi satu. Ia merasa seseorang pasti telah berkhianat tapi siapa. Yang lebih membingungkan lagi adalah sambungan telephone dari Dhani yang mengatakan bahwa Iksan dan gangnya  tertangkap pagi ini. “Bagaimana bisa terbongkar? Bukankah yang tahu rencana itu hanya aku, kau dan Iksan?” tanya Arum.  “Benar, mbak. Tapi entah bagaimana mereka bisa tahu. Sekarang mereka menggeledah kantor.” Jawab Dhani diujung telephon. “Kurang ajar.”kata Arum sambil mematikan telephonnya.

 Ia bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Sandiwara yang dirancangnya sudah pasti akan terbongkar. Ia tidak hanya tak bisa menolong ayahnya tetapi juga akan terjerat dengan jebakan yang dirancangnya sendiri.

 

Arum terduduk lemas di sofa lembutnya, ia teringat bagaimana ayahnya juga terjebak dengan aliran dana direkeningnya  saat pengadaan alat kesehatan dari proyek pembangunan rumah-rumah sakit di daerah.  Sementara Arfa dan Arman saat ini juga sedang diinvetigasi mengenai aliran dana social bagi korban bencana alam di berbagai daerah serta beberapa event nasional yang terselengara dengan dana pemerintah tapi dilaksanakan oleh organisasi massa di bawah pimpinannya. Arum berpikir begitu keras,bagaimana KPK bisa mengusut itu semua jika tidak ada orang dalam yang berkhianat.  Tapi siapa? Dhani? Itu tidak mungkin. Ia terlibat dalam setiap langkah yang dibuatnya. Lalu siapa ? Pak de Hamzah? Tapi ia tidak punya akses sama sekali di organisasi apalagi partai. Ayahnya cukup pintar untuk tidak melibatkan keluarga yang memiliki dendam pribadi ke dalam organisasi. Paman Markum? Ini adalah kemungkinan yang termudah, karena ia memiliki semua akses untuk itu. Yah paman Markum pasti ada dibalik semua ini. Tapi ia sama sekali tidak tau menahu soal jebakannya untuk Krish. Lagipula paman Markum sudah seperti saudara sendiri bagi ayahnya. Ia juga selalu menjadi pendukung ayahnya. Paman Hizam? Lebih tak mungkin lagi. Setelah menyelesaikan kuliahnya, paman Hizam sibuk membantu bu lik Salma untuk membesarkan usaha batik mereka. Tak ada sama sekali akses pada partai dan organisasi, meskipun ayahnya sering mencoba merekrutnya. Tapi paman Hizam selalu menolak. Lalu siapa?

 

Arum menarik-narik rambutnya sendiri karena kesal. Belum lagi ia menghela nafas dengan tenang, pembantunya datang dan memberitahu bahwa di rumah banyak wartawan ingin bertemu. Arumpun merasa sesak. Setelah memberitahukan pada pembantunya agar mengatakan pada wartawan  bahwa ia sedang tidak ada di rumah,  Arum menyelinap lewat pintu belakang dan diam-diam pergi ke rumah Markum dengan menggunakan taksi online. Ia bermaksud berlindung di rumah Markum karena jika menuju rumah ibunya atau saudara-saudaranya yang lain, wartawan pasti juga sudah ramai mencarinya. Perkiraan Arum tepat. Rumah Markum masih kelihatan sepi. Tidak ada wartawan atau orang-orang partai yang datang untuk mencecarnya dengan pertanyaan. Hanya ada satu mobil yang terparkir di halaman depan. Honda CRV keluaran terbaru, tapi Arum tidak mengenali mobil itu milik siapa. Ia hanya berpikir bahwa saat ini Pak Markum sedang ada tamu. Ia pun menyelinap lewat pintu samping seperti yang selalu dilakukannya bila ayahnya pergi mengajaknya kerumah Markum agar bisa menghindari untuk bersalaman dengan banyak orang waktu ia masih kecil.

 

Arum melongok ke dalam tak ada siapa-siapa karena jam menunjukan waktu, belum ada pukul 09.00 pagi . Istri Pak Markum pasti masih ada di pasar. Dari ruang samping Arum mengintip siapa tamu yang sedang bertandang ke rumah itu. Matanya terbelalak kaget karena yang datang adalah Budiman salah satu anggota partai rival mereka dan seorang yang sudah tua seumur ayahnya tapi sama sekali tidak dikenalinya.  Mau apa mereka datang ke tempat ini. Arumpun menguping pembicaraan mereka. Betapa marahnya Arum ketika ia mengetahui bahwa pak Markum tengah menyerahkan file-file Partai yang berhubungan dengan ayahnya ke tangan Budiman. Dengan kata meminta maaf pada orang tua disamping Budiman lagi. Darah Arum mendidih hingga hidungnya meninggi dan wajahnya memerah. Stress karena tekanan yang disebabkan oleh kasus ayahnya, kegagalannya menjebak dan mendapatkan Khris, benar-benar membuatnya naik pitam, ia segera menghambur keluar sambil berteriak seperti orang kesetanan. “Jadi orang yang berkhianat itu Paman. Aku tidak menyangka. Tega sekali paman melakukannya.” Markum terkejut. Ia tidak menyangka kalau Arum diam-diam menyelinap di rumahnya. “Sabar, nak. Sabar.”kata Markum mencoba menenangkannya. Budiman dan Teja yang ada di situ juga terkejut dan beberpa waktu terbengong bingung. Arum berteriak, memaki dengan seluruh kosa kata kotor yang dimilikinya. “Tenanglah dulu. Ini tidak seperti yang kau kira.” Sahut Markum, tapi suaranya ditelan oleh amukan Arum. Dalam kemarahannya Arum kehilangan kendalinya dan tanpa sadar ia meraih gunting yang tergeletak di meja sehabis untuk membuka amplop besar yang hendak diberikan kepada Budiman. Dengan sekuat tenaga ia menancapkan gunting itu ke perut Markum. Markum sesaat terdiam, darah menyembur dari lukanya, ia terhuyung dan jatuh tergeletak. Arum yang sejenak kehilangan akal, kembali menemukan akal sehatnya. Ia membuang  gunting itu, melihat tangannya yang berdarah lalu menjerit. Saat itulah istri Markum dan Aisyah adik Arum tiba. Istri Markum menjerit histeris melihat suaminya tergeletak berlumuran darah,  begitu juga Aisyah “Mbbaaakkk  Aruuummm, apa yang kau lakukan pada paman Markum?” teriaknya. Arum kaget dan bingung bagaimana adik bungsunya ada di situ. Arum lalu menunjuk ke tubuh Markum yang tergeletak “Dia…..dia…. mengkhianati ayah, Syah.” Katanya dengantangan dan suara yang gemetar.

 

Budiman sigap pada situasi itu segera menelpon polisi dan ambulance. Tak berapa lama polisi datang dan menangkap Arum. Aisyah  hanya menangis melihat kakaknya digelandang ke kantor polisi.  Ia dan Hizam pamannya yang datang kurang lebih bersamaan dengan polisi kemudian mencoba menenangkan diri sebelum menyusul ke kantor polisi, sementara Markum di bawa ke rumah sakit diikuti istrinya. Budiman menepuk-nepuk pundak Aisyah. “ Sudah. Sabarlah. Ini memang harus terjadi. Apa kau masih mau melanjutkan ini ?”tanya Budiman sambil menyodorkan amplop besar yang tadi diserahkan Markum. Aisyah mengangguk. “Kau yakin?” tanya Budiman sekali lagi. Teja memeluk gadis itu dengan air mata bercucuran. “Kenapa, nak ? Kenapa kau lakukan ini?” Hizam menepuk punggung Aisyah untuk menguatkan keponakannya itu. “Karena aku harus menghentikan kejahatan kelurga Arsyad.”katanya terbata-bata. Air matanya jatuh. Bayang-bayang malam itu ketika ia masih kecil kembali lagi dalam ingatannya, ketika ayahnya mengajaknya berjalan-jalan dan membeli banyak mainan. Ayahnya juga bertemu dengan seseorang yang diperkenalkannya sebagai kakek Jendral. Aisyah masih ingat betul bagaimana kakek jendral memberikan banyak sekali uang pada ayahnya di dalam amplop lalu kakek itu menciumnya dan berkata, “Kau boleh minta ayahmu membelikan  lebih banyak mainan, kalau perlu setoko-tokonya.” Aisyah juga masih ingat bagaimana ayahnya tersenyum kemudian bersalaman dengan kakek Jendral. Lalu ayahnya pergi mengajaknya ke gudang tua. Waktu itu sudah larut malam. Aisyah kepalanya ditepuk-tepuk oleh ayahnya dengan pesan. “Aisyah, ayah mau ketemu dulu dengan teman ayah di dalam. Aisyah tunggu di sini ya. Jangan kemana-mana. Ayah cuman sebentar. Aisyah anak baik, harus nurut kata orang tua ya.”katanya. Namun karena malam semakin gelap, Aisyah merasa takut. Apalagi mobil diparkir agak jauh dari gudang. Aisyah kecil juga mendengar teriakan-teriakan yang menakutkan. Akhirnya ia pergi menyusul ayahnya untuk mengetahui bahwa bukan ayahnya yang berteriak kesakitan itu. Aisyah  kecil, masuk lewat pintu belakang gudang yang terbuka sedikit, karena pintu gudang depan tertutup. Ia masuk dan dalam cahaya lampu bohlam 5 watt, ia melihat ayahnya dan beberapa orang tengah menaikan tubuh pak de Karsono yang berdarah ke atas mesin penggilingan disertai suara retakan yang mengerikan. Aisyah menjerit. Hanafi kaget dan langsung berlari ke arah Aisyah. Ia memeluk putrinya itu dan menyuruhnya memejamkan mata. Ia langsung membawa putrinya ke mobil. Aisyah yang shock menangis tersedu di dalam mobil. Hanafi tidak memarahinya hanya bertanya “Kenapa Aisyah keluar mobil? Ayah sudah bilang supaya Aisyah menunggu.”katanya lembut. “Aisyah takut……!!”jawabnya. Hanafi memeluk putrinya sekali lagi dan berkata “Perempuan keluarga Arsyad adalah perempuan yang berani dan tangguh.” Kata Hanafi.

 

Ingatan itu berlalu bersama waktu. Aisyah tak tahu apa yang terjadi ketika itu. Ia hanya diberitahu bahwa pak denya meninggal karena kecelakaan. Ia hanya mendapat penjelasan dari ayahnya soal malam itu dengan perkataan seperti ini “Pak de Karsono meninggal kecelakaan dan ayah sedang menolongnya waktu kau masuk tiba-tiba. Kau jangan ceritakan apapun kepada siapapun tentang kejadian itu, karena itu akan membuat semua orang sedih.” Aisyah hanya menerima saja perkataan ayahnya itu. Tapi nuraninya selalu bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Akhirnya ketika nalarnya sudah mulai bekerja, ia menceritakan semua kejadian itu pada paman Hizam yang dianggapnya paling bisa mengerti dirinya juga tak memusuhi ayahnya. Jadi sebenarnya Hizam tak pernah terkejut saat Salma menceritakan soal kematian Karsono padanya. Ia hanya berpura-pura supaya Hanafi tidak mengetahuinya serta mengambil langkah tak terduga.

Aisyah juga menjadi saksi kejahatan ayahnya yang lain ketika ia beranjak mahasiswa dan mulai mengenal pria. Aisyah kebetulan memiliki teman laki-laki bernama Refan, putra seorang janda bernama Sedah. Refan adalah dosen yang pintar dan berprestasi di kampusnya. Mereka dekat karena Aisyah sering bertemu di acara-acara pameran buku atau pemutaran film. Selain itu Refan juga menjadi dosen favorit mahasiswa. Mereka akhirnya saling jatuh cinta meskipun usia mereka terpaut cukup jauh. Refan seringkali mengajak Aisyah pergi ke pameran lukisan atau konser-konser music bergengsi. Maklum Refan adalah putra seorang janda yang kaya, seorang pengusaha catering yang cukup dikenal di kalangan elite dan sosialita. Hanafi mengetahui kedekatan putrinya dengan pemuda itu. Awalnya Hanafi senang karena Refan selain tampan juga sopan dan berpendidikan. Tapi seperti biasa, Hanafi tak akan menyerahkan putrinya pada seseorang yang tak jelas asal-usulnya, maka Hanafi mulai menyelidiki Refan.

 

Hanafi mulai marah ketika ia akhirnya tahu jika Refan adalah putra Sedah dengan Teja. Jebakan Hanafi ternyata membuahkan seorang putra yang saat ini justru sedang menjalin cinta dengan putrinya. Takut akan karmanya sendiri Hanafi berusaha dengan segala upaya untuk menghentikan hubungan itu. Ia menghardik Aisyah dengan sangat keras “Jangan pernah kau dekati anak sundal itu lagi, mengerti? Refan itu ibunya seorang pelacur. Ayahnya eks tapol PKI. Apa kau akan menajiskan keluarga ini dengan menikahi anak haram macam dia?” bentaknya kasar. Aisyah yang selama ini jiwanya tertekan tiba-tiba seperti memiliki daya untuk melawan ayahnya. “Bagaimana dengan ayah ? Apakah begitu suci ? Darah Pak de Karsono saja masih melekat di tangan ayah. Belum lagi BU de Raudah yang mati dengan mengumpat nama ayah. Juga ribuan politis yang ayah jatuhkan dengan tipuan di luar sana.” Teriaknya dengan keras. Hanafi langsung menampar anak kesayangannya itu. “Hanya demi begundal itu kau menentang ayah. Kalau kau tahu aku bisa membunuh siapapun yang menghalangi jalanku. Maka camkan ini baik-baik. Takan sulit untukku menghabisi bocah ingusan itu. Akulah yang mengadakan dia, maka aku bisa menghilangkannya.”kata Hanafi. Aisyah tidak mengerti maksud kata-kata ayahnya waktu itu, namun belakangan Hizamlah yang menceritakan bagaimana asal-usul Refan dilahirkan. 

Kedudukan Hanafi yang telah menjadi guru besar di universitas digunakannya untuk bisa menendang Refan keluar dari kampusnya. Cap sebagai anak PKI yang disematkan Hanafi pada Refan membuatnya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Tak cukup sampai di situ Hanafi juga menghancurkan bisnis catering Sedah hingga hidup mereka kembali susah. Hanya karena pertolongan Budiman, akhirnya Refan dapat kembali mengajar di universitas swasta yang baik. Namun Budiman tidak pernah tahu jika ternyata Refan adalah putra Teja, hingga saat ini semuanya baru terbuka.

 

Aisyah menceritakan semuanya itu dengan gamblang hingga Teja menangis sesunggukan bahwa ia ternyata masih memiliki putra dari hasil hubungannya dulu dengan Sedah. Aisyah kecewa dengan sikap ayahnya yang arogan dan selalu ingin menguasai dan mendominasi segalanya termasuk hidup putri-putrinya. Kebanggaan yang selalu didoktrinkan pada anak-anaknya telah menghancurkan hidup mereka semua.   Budiman menunduk sedih “Aisyah, jika aku mengajukan ini pada pak Adrian itu berarti kau telah mengkhianati ayah dan saudara-saudaramu?” tanyanya lagi memastikan. “Merekalah yang telah mengkhianati nurani. Jadi saya minta Pak Budiman membantu saya. Semua bukti kejahatan ayah saya dan saudara-suadara saya jelas dan gamblang terlihat di sini. Saya sudah berjalan sejauh ini, jadi jangan kecewakan saya. Paman Markum juga sudah menjadi korban. Kalau kita berhenti maka perjalanan sang orator dan kejahatannya akan terus berlanjut.” Sahut Aisyah.

 

Aisyah  mengatakan bahwa ia juga yang telah memberitahukan konspirasi kakaknya pada polisi. Aisyah melaporkan bahwa Dhani atas perintah kakaknya telah membuat serangan palsu padanya untuk menjebak inspektur  Krish Narayan. Ia melaporkan bahwa Iksan dan kelompoknyalah yang merupakan kelompok cyber Dhani untuk menyerang kakaknya dan seolah-olah  mereka adalah orang yang diperintah oleh Inspektur Krish. Berita berkait dengan pelecehan seksual itupun telah di design sedemikian rupa sehingga memojokkan  Inspektur Krish. Tujuannya adalah untuk mengancam inspektur Krish agar mau mengikuti kemauannya untuk meringankan hukuman ayahnya atau minimal menghilangkan alat bukti yang menunjukan kesalahan-kesalahan ayahnya. Hal ini cukup berat baginya karena ia akan dituduh menjadi pengkhianat keluarga dan anak yang durhaka. Tetapi mengakses semua kebusukan Hanafi tidak akan mungkin tanpa dobrakan dari dalam karena kelompok mereka sangat loyal dan militant. Semua yang dikatakan Hanafi adalah doktrin yang harus diikuti entah itu benar maupun salah.

 

Aisyah sudah muak dengan semua kepalsuan yang selalu disoundingkan ayahnya, padahal ia tahu benar ayahnya tidak pernah memikirkan rakyatnya selain dirinya sendiri. Hampir semua kader dalam partainya bersifat dan berprilaku  egois seperti ayahnya dan suka  merendahkan orang lain. Beban yang ditanggung Aisyah begitu berat hingga ia akhirnya memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Tapi ia sangat terpukul bahwa pengkhianatannya justru menjatuhkan korban orang yang begitu baik yaitu Markum. Hati Aisyah hancur. Pertemuannya hari ini dengan Budimanpun sebenarnya murni keinginannya untuk mengkonsolidasikan  bagaimana memberikan bukti-bukti itu tanpa diketahui pihak organisasi. Tapi tak disangka justru Arumlah yang mengetahui segalanya dan akhirnya semua menjadi rusuh.

 

Hizam kembali menenangkan keponakannya. “Sudah…sudah . ini bukan salahmu atau siapapun. Tapi jika ayahmu menjadi sadar karena semua peristiwa ini. Paman Markum pasti akan bahagia. Sekarang kita berdoa agar paman Markum baik-baik saja.”katanya sambil memeluk  keponakannya itu. Hamzah yang mendapat kabar dari Hizam tampak tergopoh-gopoh datang ke tempat itu bersama Haznah istrinya. “Bagaimana kondisi Markum?”tanyanya. Hizam menggeleng dan mengangkat bahu. Budiman menjawab “Sedang ditangani pihak medis. Kita akan segera menyusul ke sana, mudah-mudahan tidak apa-apa.” Hamzah mengangguk. Ia melirik kesal pada Hizam yang tidak melibatkannya dalam masalah ini dan baru diberitahu setelah tragedinya berlangsung. Hizam hanya menyeringai sambil berbisik “Maaf.”

 

DDDDDDDDDDDDDD

 

Krish dan Adrian duduk bersama di café di mana mereka biasa mengobrol. “Aku tidak mengira bahwa kasusmu akhirnya antiklimak. Sulit dipercaya bahwa keluarga itu begitu rumit kisahnya.” Kata Adrian membuka pembicaraan. Krish tersenyum “Yah, kau benar. Aku hanya tak membayangkan bagaimana jika aku jadi bagian dari keluarga itu karena terpaksa memenuhi kesepakatan. Wuuuiiihh, pasti seram sekali. Tapi ngomong-ngomong kau jadi bisa menggulung all the gank brothers kan?” Krish menanggapi Adrian. “Alhamdulilah. Semua laporan yang diberikan si bungsu Aisyah ini luar biasa, mereka bermain hampir di semua lini. Pendidikan, kesehatan, komunikasi. Wah gila. Mana konsesinya bertriliun-triliun. Itu mengerikankan. Sesuatu yang diluar dugaanku. Hebatnya dengan daftar dosa sebanyak ini mereka masih punya pendukung lho. Berarti lidahnya sungguh ajaib karena bisa meyakinkan orang tanpa terkecuali. Masyarakat yang tidak tahu, pasti mengira ia orang yang baik. Ia bisa kok memutar lidahnya sedemikian rupa sehingga batu saja terlihat seperti emas. Maka tak heran jika pemerintah harus waspada pada orang-orang seperti ini.” Sahut Adrian “Berarti, ia bisa membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar hanya dengan permainan diksi. Hebat ya.” Kata Krish. “Diksi yang berbahaya. Seandainya kemampuannya berorasi dan mempengaruhi orang lain digunakan sungguh untuk kebaikan, sebenarnya akan ada banyak orang bisa ditolong. Untung saja waktu dia nyapres nggak ada yang milih dia. Kalau ada kusut dah. Akan ada perburuan pria tampan untuk anak-anaknya.” Adrian menimpali. “Jangan ngeledek.Sayang ia tidak melihatmu. Kalau lihat disikat juga pasti.”Krish menjawab dengan menyenggol lengan sahabatnya itu. Mereka tertawa senang.

nnnnnnnnnnn

Hanafi tak lagi kesepian karena dua jagoannya kini telah bergabung bersamanya di sel itu. Setidaknya ia memiliki teman ngobrol. “Bagaimana kalian bisa masuk jerat?”tanya Hanafi. “Aisyah berkhianat. Dia, paman Hizam dan paman Markum. Lebih parah lagi Arum juga masuk.”kata Arman dengan wajah putus asa. “Arum?” tanya Hanafi. “Benar, ia menusuk paman Markum dengan gunting ketika ia tahu paman Markum menjual kita pada rival kita.”sahut Arfa. “Hukuman kita akan sangat lama. Karena selain uang yang kita mainkan, mereka juga berhasil membongkar kelompok media kita. Jadi semua operasi black campaign kita akan dibongkar juga”Arman mengeluh sedih. Hanafi tiba-tiba merasa gelap. Ia terhuyung-huyung seperti hendak pingsan. Arfa segera menangkapnya sehingga tak sampai terjatuh.

 

Hanafipun tiba-tiba seperti dihadapkan pada daftar panjang dosanya dimana ia salalu memanipulasi orang untuk kepentingannya dan keluarganya. Ia seperti merasa telah diadili oleh alam yang selama ini seakan membantu tiap langkahnya. Selama ini mulutnya begitu mudah menghujat orang dan orang itu jatuh bersama seluruh hujatannya, tapi kini ialah yang masuk dalam perangkap hujatannya sendiri.

 

Hanafi menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Ia sedih sekali bahwa segalanya harus berakhir seperti ini, diusia yang seharusnya ia tinggal menikmati apa yang diusahakan, di usia dimana ia seharusnya menunjukan jalan yang lurus pada anak-anak dan cucunya. Ia bahkan tak menyangka jika putri kesayangannyalah yang membuatnya berakhir seperti ini. “Kita takan bisa mengelak lagi seperti sebelum-sebelumnya, karena Aisyah menyerahkan semua print out rekening kita ayah. Selama ini aku tak mengira bahwa semua sumber dana kita dia filekan dan file itu diserahkan pada KPK. Semua perjanjian kita dengan perusahaan-perusahaan asing, bahkan konsesi kita untuk mengamandemen UU kita agar sesuai dengan kepentingan para klient kita.”Arfa  berkata dengan kesal. “Aisyah….mengapa, nak? Mengapa kau lakukan itu pada ayah anakku?”tangis Hanafi sambil memukul-mukul dadanya. Dulu saat semua begitu mudah dilalui, ia tak menjalankan segalanya dengan benar. Dulu ada pak Jendral yang membackupnya, sehingga tak seorangpun bisa menyentuhnya. Namun waktu terus bergulir, bahkan dalam persahabatan tak ada yang abadi. Pak Jendral yang selalu membantunyapun akhirnya sampai dititik konflik dengannya ketika ia harus mempertahankan kepentingan pribadinya sendiri. Ia dan pak jendral dipisahkan oleh visi ke depan tentang Negara ketika hasratnya sendiri untuk berkuasa begitu besar. Akhirnya ia melemparkan pak Jendral dari kancah politik dengancara yang brutal. Menggalang massa, people power dan menundukannya di bawah panji rakyat. Tetapi sekali lagi nasib tak selalu berpihak padanya. Ketika hasrat berkuasanya semakin besar, semakin sedikit rakyat yang berminat mendukungnya karena akhirnya semua yang busuk di dalam hatinya terkuak keluar.

 

Hanafi memejamkan matanya, dadanya terasa sakit seperti ditusuk-tusuk. Masalah pak Jendral hanya dia dan pak Jendral saja yang tahu. Namun ketulusannya tergambar dari setiap orasi yang dilontarkannya ke tengah publik, dimana akhirnya orang dapat menilai konsistensinya, ketulusannya dan tujuannya.Rakyat bisa saja dibuai dengan suara pidatonya yang merdu dan indah. Tapi suara itu tidak bisa membius dan membungkam nurani. Rakyat yang sepertinya buta politik, yang sepertinya bodoh tetapi ternyata merekam setiap kalimat yang diucapkan dan membandingkannya waktu demi waktu sehingga segalanya terbuka dan gamblang.

 

Bagaimana si tua ini akhirnya terjerat dalam jebakannya sendiri adalah ketika hasratnya tak lagi mampu dikendalikan oleh nurani dan logikanya sehingga ia mulai melawan apa yang disebut sebagai kebenaran sejati. Lidahnya bergoyang terlalu meriah, akhirnya terpeleset ke jurang yang digalinya sendiri. Ia melempar kotoran pada penguasa yang dicintai rakyat dengan lidahnya, tak menyangka kekuatan rakyat berbalik dan menyerangnya. Beribu orang melaporkannya karena ujaran kebencian, ratusan yang lain melaporkan kecurangannya dalam menguasai asset dan putrinya sendiri membongkar pencuriannya. Sungguh suatu ironi di atas ironi. Semua yang dibangunnya runtuh dalam semalam. Hanafi merasa kakinya tak lagi kuat untuk berpijak. Suara-suara hantu itu kembali lagi menganggunya. Hantu ibunya, hantu Anun,hantu pak Jendral, hantu Karsono, Raudah dan anaknya serta ribuan hantu lainnya yang harus meninggalkan dunia ini karena kerakusannya dan karena lidah manisnya.

 

Suaranya yang nyaring di podium itu seakan runtuh dalam sekat-sekat dosa yang diciptakannya. Ia bahkan menyeret seluruh keluarganya masuk ke kubur yang sama. Rupanya benar yang dikatakan orang. Bahwa setiap kelebihan yang diberikan Yang Maha Kuasa adalah Anugerah sekaligus kutukan. Sejenak ia teringat kisah Oidipus yang dibuang ke Kolonus,  dimana untuk menebus dosanya ia membutakan dua matanya,namun toh akhirnya ia tetap harus melihat kehancurannya itu. Polineses dan Etiocles, Antigone dan Ismene anak-anaknya semua lebur dan hancur bersama dengan dosa itu. Penyesalannya datang saat segalanya sudah terlambat. Ia berulang kali membaca dongeng itu, tapi saat berkuasa tak pernah ingat untuk mengambil hikmahnya. Sekali lagi ia memandang anak-anaknya yang masih berusaha menolak kenyataan. Sayangnya dadu sudah dilemparkan dan tak bisa ditarik kembali. Ancaman-ancamannya pada penguasa baru yang arif itu tak lebih dari muntahan rasa iri dan dengki yang disimpannya tanpa mau mawas diri dan bersyukur atas apa yang telah diperolehnya.

 

Air mata sudah tak lagi berguna di tengah sebuah podium luas yang telah menutp layarnya untuk performa seorang politisi tua yang lelah, sakit dan kalah. Hidup adalah sebuah pertaruhan yang harus diselesaikan. Namun ada saat nurani harus memutuskan saat yang tepat untuk berhenti bagi semuanya. Untuk keinginan, untuk hasrat dan untuk nafsu. Kekaguman pada dunia hanya akan membuat lupa bahwa semuanya  hanyalah titipan. Dan titipan yang berharga adalah sisa kewarasan yang kita miliki. Hanafi memeluk anak-anaknya, dan untuk pertama kali dalam hidupnya ia bersujud untuk meminta ampun bagi setiap kesalahannya.

 

Arman dan Arfa seperti bingung ketika menghadapi ayahnya sudah tak lagi ingin melawan siapapun seperti sebelumnya. Sisa kesombongannya bahkan luluh tak bersisa. Arman marah dan mengumpat. Arfa kesal dan membenturkan tinjunya ke tembok karena gelora mudanya enggan menyerah. Hanafi menggeleng lalu duduk bersila mengambil sikap sempurna, entah apa yang di dzikirkannya tetapi setidaknya ia bisa bernafas sedikit tenang. Sidangnya akan digelar esok hari, dan ia akan kembali menjadi bintang di tengah-tengah sidangnya itu sebelum nasibnya diputuskan.

 

 

Di tempat lain Aisyah yang menemui Arum sedang menerima semua sumpah serapah kakaknya “Kenapa kau khianati kami, Aisyah? Apa salah kami padamu hingga kau berkomplot dengan paman Markum?” Tanya Arum. Aisyah menjawab dengan pandangan kosong “Karena kau, ayah, mas Arman dan Mas Arfa layak untuk menerima ini semua.” “Apa maksudmu kami layak menerima ini?” tanya Arum kesal. “Ayah telah membunuh pak de Karsono, membuat aku dan pak de Hamzah patah hati. Menghancurkan banyak politisi yang baik. Kau….mulutmu busuk, kata-katamu buruk, kau juga telah melukai paman Markum. Kak Arman dan kak Arfa mencuri uang Negara.Kalian semua busuk.” Kata Aisyah. Pandangannya tetap kosong. Aisyah kembali mengulang kata yang sama, kalimat yang sama dan masih dengan tatapan yang sama. Arum seketika menjerit, petugas penjara langsung menemuinya dan membawanya kembali masuk ke tahanan. Hizam yang mengantar Aisyahpun mendekatinya. Hizam terkejut melihat raut muka Aisyah. Ia memang masih berbicara kalimat yang sama dengan pandangan yang sama. “Ayahku membunuh kakaknya…, kakakku pencuri….” Aisyah terus mengulang kata-kata itu. Hizam memeluknya dengan air mata bercucuran. “Aisyah anakku…..!”Hizam tak mampu berkata-kata lagi. Ternyata guncangan-guncangan yang diterima Aisyah begitu dahsyatnya, hingga kewarasannya menolak untuk tetap tinggal. Hizam membimbingnya pulang. Selama perjalanan Hizam hanya berdoa agar semua yang pernahdilukai atau terlukai oleh Hanafi memaafkan adiknya itu sehingga karmanya tidak perlu ditanggung oleh generasi yang tidak mengerti. Ia memeluk erat Aisyah yang telah dianggap seperti putrinya sendiri, dengan senyum polos kekanak-kanakannya dan dengan semua keceriannya. Hizam seperti melihat Hanafi kecil yang bahagia kembali lagi, meski dihimpit kemiskinan dan persoalan, senyum polos itu selalu dirindukannya. Tapi melihat Aisyah kini hanya air mata yang mampu mengurangi rasa sakitnya.

 

nnnnnnnnnn

 

Hamzah, Salma dan Hizam menatap dua orang perempuan yang ada di tempat perawatan rumah sakit jiwa. Hati mereka serasa diiris. Mereka tak menyangka bahwa lidah seorang orator ulung yang hebat, ternyata bisa berbalik menyerang dirinya sendiri. Hamzah memandang Rusmini dan Aisyah, keduanya adalah perempuan-perempuan terindah yang mereka miliki sebagai kekaksih dan sebagai seorang putri. Tetapi begitu keras dunia menghajar mereka sehingga mereka tak lagi mengenali dunia selain dunia mereka sendiri.  Salma memeluk Hamzah kakaknya yang berderai air mata. “Sekarang hanya tinggal kita yang tersisa. Yang dapat kita lakukan sekarang hanyalah mengatakan kebenaran sebagai yang benar. Jangan pernah menggunakan lidah kita untuk memutar balikan fakta karena semua itu akan kembali kepada diri kita.” Hamzah berkata dengan isak yang tertahan. Salma mengangguk. “Hanafi mungkin takan kembali karena hukumannya lebih dari lima belas tahun. Arman dan Arfa akan keluar dalam delapan tahun, Arum mungkin butuh waktu sedikit lebih lama. Tapi Aisyah, aku tak tahu apa aku akan sanggup menunggunya, apakah akan ada waktu untuknya kembali.” Hizam menjatuhkan lututnya ditanah, mereka menangis dan meratap namun kini semua harus dilalui.

 

Dikejauhan Hamzah melihat Teja, Sedah dan Refan juga tengah berpelukan. Entah apa yang dipikirkannya. Yang jelas Sedah telah berhasil memenangkan duelnya dengan seluruhhasrat kotornya dan lahir sebagai manusia baru. Teja juga telah berdamai dengan kepahitan hidupnya dan Refan, ia mencoba menghapus jejak duka kedua orang tuanya. Ia mendekati Aisyah dari luar selnya. Hizam hendak mencegahnya, tetapi Hamzah melarangnya. Refan mengelus rambut Aisyah yang panjang. Aisyah memandangnya dengan senyum namun bulir-bulir air mata toh tetap jatuh dipipinya yang lembut dan kemerah-merahan. Refan mengelusnya pelan dengan sapu tangannya.

 Setiap orang menjalani hidupnya masing-masing dan dengan caranya masing-masing. Namun laju hukum semesta ini tak ada yang sanggup mengira. Semua orang menerima jatahnya masing-masing sebagai kesedihan dan kebahagiaan tetapi toh akhirnya yang bisa bertahan hanyalah mereka yang mampu memegang teguh kebenaran dan menjaga  kehidupan. Teja dan Sedah adalah orang yang berangkat dari sebuah kesalahan, tetapi hidup memperdamaikan mereka dengan segala kesalahan itu. Menghapus kepahitan hati dan memilih untuk berjalan lurus kembali. Sementara Hanafi berangkat dalam sebuah kebenaran namun terjebak dalam pembenaran diri sehingga terlalu angkuh untuk mencari jalan kembali.

 Andai waktu bisa diputar, andai masa bisa diubah maka Hamzah dan Hizam akan memilih untuk menyuarakan kebenaran itu sekeras yang mereka bisa, karena sikap diam mereka selama ini telah menghancurkan banyak orang yang baik atau sedang mencari kebaikan. Ketidakpedulian mereka dalam menunjukan kebenaran telah membawa lebih banyak korban. Tak banyak lagi orang bisa mendengar nuraninya, oleh karena itu siapapun yang mendengar harus menyuarakannya, harus mengorasikannya sehingga yang tidak benar, tidak dijadikan kebenaran.

Begitupun dengan Salma, andai ia punya sedikit keberanian, andai ia tidak berdiri dalam kebisuan dan menutup diri membungkam kebenaran mungkin ia akan melihat anak-anak Raudah tumbuh dan berbahagia. Mungkin ia akan melihat Aisyah dan Refan berjalan beriringan, atau mungkin ibunya akan pergi dengan senyuman bukan dengan dendamserta penyesalan.

Sedangkan Markum yang saat ini tertatih dalam lukanya, tak lagi hidup dalam sesal, ia telah menyelesaikan tugasnya untuk membuktikan kebenaran itu meskipun sedikit terlambat. Dan dalam sisa hidupnya ia boleh mentertawakan dirinya yang kadang masih terpesona pada yang  fana. Hamzah, Hizam, Salma dan Markum selalu sederhana dalam membuat berbagai kesimpulan dalam hidup, namun persahabatan yang diletakan atas dasar kebenaran akan selalu mengakar lebih kuat daripada persahabatan yang dibangun karena kuasa, kekayaan dan hasrat.  Hamzah, Salma, Hizam dan Markum selalu belajar dari banyak luka dalam hubungan dan mencoba merawat kehidupan dengan memaafkan bukan mendendam dan membenci, maka tak ada yang akan mampu memisahkan hubungan diantara mereka. Kasih, cinta , pengertian akan mengalahkan kebencian, keangakaraan, dengki dan iri. Merekalah pemenang kehidupan dan pemelihara kasih yang sejati, bukan yang pintar bicara tetapi yang pintar melakukannya.

 

 

-TAMAT-



[1] Salah satu langkah yang dilakukan cracker sebelum masuk ke server yang ditargetkan. Sebagai gambaran di dunia nyata adalah seseorang sebelum masuk ke rumah orang lain dengan memeriksa apakah pintunya terkunci, pagarnya terkunci. Memang belum ada tindakan nyata seperti pencurian, pembobolan atau semacamnya, namun tujuannya mencurigakan dan dianggap suatu tindakan yang tidak bersahabat.

[2] Sayuran yang dimasak dengan santan. Hampir seperti lodeh tetapi tidak pedas. Biasanya isinya bayam dan labu china, berasa gurih dan manis.

2 komentar:

  1. Novel yg menegangkan dan penuh haru. Mantap....

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah membaca. Tunggu novel selanjutnya ya.

    BalasHapus

Sekilas Info

 Bagi anda yang menginginkan novel-novel ini dalam bentuk buku. silahkan menghubungi email kami di indriyantidewialexandra @gmail.com. Terim...